Pengalaman Baru
AKHIR tahun kemarin, aku berlibur ke rumah Nenek. Nenek tinggal di sebuah desa yang agak terpencil. Seperti layaknya kebayakan rumah di desa, di belakang rumah tersedia sumur dan bak mandi, yang merupakan bak mandi umum.
Ada kaca di bagian dapur, dapat melihat siapapun yang mandi di tempat mandi umum itu. Itulah yang terjadi!
Aku jadi sering mengintip orang-orang mandi. Dari tetangga Nenek yang berbadan kecil dengan kulit sawo gelap, berpayudara kecil tapi kencang. Lalu ada tetangga Nenek yang lain, bertubuh montok, kulit sawo matang. Ia merupakan obsesiku dalam hal pemuasan hasrat seksual yang menggebu.
Bagiku, kemolekan tubuhnya sangatlah ideal. Dan beberapa wanita lain yang suka mandi di belakang rumah Nenek, aku selalu membayangkan, ingin bercumbu dengan mereka semuanya.
Suatu pagi dini hari, aku terbangun dari tidur karena mimpi basah. Segeralah aku ke kamar mandi sebelum Nenek melihat atau mencium aroma tak sedap keluarnya sperma dari kemaluanku.
Saat itu terdengar derit timba air dari belakang rumah. Nampak sesosok wanita sedang menimba air dari sumur. Aku segara memasang posisi mengintip dari jendela kaca berukuran 30 x 60 cm itu.
Aku asyik menyaksikan bagaimana wanita berumur 40-an tahun itu, yang berkulit sawa matang, mengisi ember demi ember air ke dalam bak mandi di sebelah sumur. Sampai setelah ember terakhir yang membuat bak penuh, ia mulai melepaskan satu persatu kain yang dipakainya. Dan nampaklah buah dada yang ranum, yang selalu membuat aku berfantasi dengan angan-angan, ingin rasanya mengulum buah dada itu.
Bi Inah namanya, mulai jongkok, pipis dan cebok. Saat itulah aku memutar akal bagaimana caranya aku bisa melihatnya lebih dekat, kalau perlu menjamahnya, seperti yang aku impikan selama ini, dapat menyentuh tubuh molek itu.
Aku melihat detil Bi Inah mandi dari mulai mengosok bagian tubuh, lalu berdiri membersihkan kemaluannya, dan menyiram tubuhnya dengan air, sampai memakai handuk kembali. Kepalaku nyut-nyutan, atas bawah.
Membayangkan Bi Inah membuat aku sering merancap. Sampai suatu saat kesempatan itu datang. Aku pergi ke warungnya – ia berjualan makanan kecil, bumbu dapur, dan sebagainya – untuk membeli bumbu dapur suruhan Nenek.
“Bi, beliii…” teriakku saat kutemui warung itu dalam keadaan tanpa penunggu. “……… Bii, belii…” teriakku lagi.
“Yaaa… tunggu, ya…” terdengar sahutan dari dalam.
Aku menunggu beberapa menit, tapi Bi Inah tidak keluar juga. “Bi, masih lama?” teriakku.
“Amar, ya? Masuk aja, Bibi mau minta tolong,” sahut Bi Inah dari dalam.
Degg… serrrrrrr… dengan ragu dan jantung berdegub, aku melangkah masuk rumah Bi Inah.
“Mau minta tolong apa, Bi?” tanyaku pada Bi Inah yang berada di kamar.
“Masuk aja. Ini lemari Bibi kuncinya patah. Baju Bibi di dalem semua. Bisa bantu, nggak?” menjawab Bi Inah dari dalam kamar.
Aku masuk ke kamar Bi Inah yang pintunya terbuka. Aku terkesima sejenak, melihat Bi Inah kebingungan di dalam kamar mengenakan sehelai handuk ukuran sedang, sehingga sebagian payudara, dan pahanya tidak tertutup.
Aku tersadar saat Bi Inah menegurku,: “Heii… kok malah bengong?” ujarnya sambil tersenyum, entah mengerti, entah menebak apa yang membuatku bengong. “Bisa tolongin Bibi nggak?” lanjutnya.
“Ehh, iya Bii….” aku tergagap dan segera memeriksa lemari kayu itu.
“Nggg…. ada obeng, Bi?” tanyaku.
“Bentar ya, Bibi ambilkan,” katanya seraya beranjak keluar dari kamar. Mataku melirik pantatnya yang bahenol. Jantungku tambah berdegup.
Sesaat kemudian Bi Inah kembali dengan obeng. Lemari kayu itu bukan terbuat dari jati, sehingga ditekan sedikit pintunya dapat dibuka walaupun masih terkunci. Dan terbukalah lemari itu.
“Sudah Bi, tapi sepertinya nanti kuncinya harus diganti,” kataku.
“Iya, makasih banyak,” kata Bi Inah yang berada di belakangku, dan tanpa kuduga, tiba-tiba Bi Inah memelukku dan mendaratkan ciuman.
Aku termangu. “Hee.. hee.. makasih, ya?” ungkap Bi Inah lagi. Ternyata ia menciumku sebagai ungkapan terima kasih.
Aku masih belum lepas dari ketermanguanku. Terasa tonjolan daging empuk di punggungku tadi, lalu ciuman di pipiku itu, mimpi apa aku? Bagian bawahku, juga tiba-tiba menonjol.
Rupanya Bi Inah yang sudah pengalaman, melihat reaksiku, ia malah menggodaku. “Hei, mau ucapan terima kasih lebih?”
“Nggg… ee… apa, Bi?”
“Hee.. hee… Bibi ngerti perasaanmu, mau ini nggak?” senyumnya lagi sambil tak terduga ia membuka balutan handuknya dan nampaklah sepasang payudara yang ranum, yang selalu kuimpikan itu. Ke bawah sedikit, gundukan bulu hitam dengan kelebatan sedang.
Aku terpana dan memekik kecil. “Bii…!”
“Mau nggak? Bi Inah kembali tersenyum. “Tolong tutupin pintu dan warung Bibi dulu, gih, dikunci, ya?”
Dag dig dug jantungku, dan aku segera mengikuti perintahnya. Lalu memastikan semua pintu rumahnya juga tidak ada yang tidak terkunci.
Setelah selesai aku segera masuk ke kamar Bi Inah kembali. Aku melihat Bi Inah sedang duduk di dipan. Dia masih memakai handuk. “Sini, dekat-dekat Bibi. Bibi kasih kamu pengalaman yang nggak bakal kamu lupakan,”
Aku menurut sambil mendekat. “Kamu pernah berdekatan dengan wanita telanjang seperti ini?” tanpa basa-basi Bi Inah membuka lebar handuknya.
“Hmm… belum Bi,” ujarku sambil tak karuan.
“Tapi sering membayangkannya kan?” tanya Bi Inah seolah faham dengan pikiranku selama ini.
“Iya sih, Bi.” jawabku.
“Kalau begitu, Bibi ajari kamu bercinta ya? Kamu nggak akan melupakan itu seumur hidup kamu,”
“Tapi, nggak apa-apa kan, Bi?” tanyaku ragu.
“Nggak apa-apa, dong. Kamu Bibi kasih pelajaran gratis. Di samping Bibi juga sudah lama nggak ngerasain,” senyum Bi Inah genit.
Sementara mataku tidak terlepas dari buah dada Bi Inah. Putingnya begitu menggoda. Ingin rasanya segera mengulumnya.
“Ayolah kita mulai,” kata Bi Inah seraya melepaskan handuknya dan melemparkannya ke sudut kamar.
Aku dibimbingnya untuk sama-sama duduk di dipan. Tanpa banyak basa-basi lagi selanjutnya Bi Inah mendekatkan bibirnya ke bibirku.
Alamak, ciuman bibir itu ternyata enak. Dunia serasa melayang!
Aku segera meladeni ciuman bibir Bi Inah. Ku terpejam. Yang kurasakan bibir ketemu bibir, lalu lidahku dan lidah Bi Inah berpadu, saling menekan, menjilat, dan mendesak masuk ke dalam mulut lawan. Mencampur ludah, menelusuri semua seluk di rongga mulut kami.
Sementara itu tangan Bi Inah melepaskan kancing bajuku. Kami lalu segera memiringkan tubuh dan jatuh ke kasur. Posisi miring berhadap-hadapan. Dadaku bertemu dengan buah dada itu. Hangat rasanya.
Tanganku memeluk, mendekap. Demikian pula tangan Bi Inah. Ciuman tidak kami lepaskan, tanganku merayap ke bawah memijit-mijit pinggul Bi Inah. Terasa empuk.
Beberapa menit kemudian, kami lepaskan pagutan bibir. Bi Inah telentang seolah sudah mengerti, tanpa dituntun lagi, aku bangun, dan segera mengulum dua puting payudara itu bergantian sambil kuremas-remas payudara montok itu.
Payudara itu mengencang. Putingnya menantang. Bi Inah menggeliat-geliat. “Ogghh… shhh.. Amarrr… Bibi sudah nggak kuatt…”
Aku segera membuka celana dan celana dalamku. Lalu tanpa dikomando lagi aku segera menindih tubuh molek itu. Hangat menjalar. Kemaluanku yang sudah tegang sedari tadi, mencoba mencari lubang. Tidak ketemu, tanganku bergerak membimbingnya ke lubang kenikmatan Bi Inah.
Aku merasakan seputar penisku terasa hangat panas, memasuki lorong lembut hingga semua bagiannya masuk. Inikah yang disebut surga dunia?
Kutarik, sensasi rasa di kepala penisku terasa begitu nikmat, Kumasukkan lagi. Begitu seterusnya. Bi Inah menggelinjang-gelinjang, sementara aku merem melek.
“Oogghh…. ooogghhh…. aaaa….”
“Bii… ooohhh…. Bii… enaknyaaaa….”
“Ii… iya, sayang. Ohhh… Bibi juga merasa enaakkkk… uuugghh….”
“Biii… oogghhh….”
Suara kecipak mengiringi gerakan kami. Jam 9 pagi itu, aku mendapat pengalaman bersetubuh dengan wanita yang selama ini ada dalam mimpiku saja. Sampai akhirnya, kamipun mencapai puncak, dan setelah sekian saat kami klimaks.
Berdekap erat, lalu aku mengguling tubuh dengan tetap mendekap. Penisku tidak segera aku keluarkan. Menunggu semengecilnya saja. Kami berpandangan, berciuman, dan berpelukan kembali.
Hampir aku tertidur kala aku sadar bahwa aku diminta oleh Nenek membeli bumbu dapur. Segera bangkit, pamit dan kudaratkan ciuman lalu berpakaian. Bi Inah masih tergolek.
Ia tersenyum, dan berkata,: “Kapan-kapan lagi, ya…?”
“Iya, Bi,” sahutku.
Bi Inah segera memakai baju, kami ke warung, membeli yang diminta Nenek, lalu pulang.
“Dari mana saja kamu? Masa beli bumbu sampai hampir satu jam di warung si Inah?” tanya Nenek.
“Anu Nek, Amar diminta tolong Bi Inah membuka lemari pakaiannya yang rusak, kuncinya patah…”
“Oo.. tapi kamu hati-hati dengan Inah, ya?” kata Nenek menerima bumbu dapur yang kuberikan padanya.
Setelah itu, karena takut Nenek masih mempunyai penciuman yang tajam, buru-buru aku mandi sambil membayangkan sekiranya masih ada episode kedua percintaanku dengan Bi Inah.
Setelah selesai mandi, aku bertanya pada Nenek,: “Kenapa Amar harus hati-hati dengan Bi Inah, Nek?”
Nenek menarik aku masuk ke kamar, lalu berbisik,: “Si Inah itu pelacur!”
Waduh…!
“Tapi kita nggak boleh memilih-milih menolong orang kan, Nek!” kataku buru-buru menyembunyikan keterkejutanku.
“Nenek nggak menyalahkan kamu menolong Inah, tapi kamu jangan mau diajak macem-macem sama si Inah itu,”
Aku dan Nenek lalu melanjutkan ngobrol sambil berbaring di tempat tidur. Masih tentang Bi Inah. Ia sudah menikah dengan tiga orang laki-laki. Berhubung masa mudanya dihabiskan di kompleks pelacuran, Bi Inah tidak mendapat anak dari ketiga mantan suaminya itu, begitu cerita Nenek.
Entahlah cerita itu bisa dipegang kebenarannya atau tidak, karena berbaringku yang acapkali bergerak kesana kemari di tempat tidur, akibatnya buah dada Nenek yang dibalut daster berbahan lembut dengan corak batik itu sering tersenggol oleh lenganku.
Hee.. hee.. rasanya tak kalah enaknya dengan buah dada Bi Inah meski buah dada Nenek sudah tidak kencang. Nenek tidak memberikan reaksinya sehingga aku mulai mengincar putingnya.
Puting yang tidak sebesar puting payudara Bi Inah itu, kusenggol-senggol dengan lenganku sambil ngobrol. Tidak berapa lama kemudian, bisa kurasakan puting Nenek mengeras.
Nenek menggeliat berbaring memunggungi aku. Aku segera memeluk kehangatan tubuh Nenek. Nenek menarik tanganku ke dadanya. “Nenek jadi ngantuk, Mar!” kata Nenek mendekap tanganku di antara kedua tonjolan daging lembut di dadanya itu. Jantungku dag dig dug.
“Tidur saja, Nek!” sahutku memeluk Nenek semakin erat seraya tanganku memegang payudara Nenek berpura-pura tidak tahu apa yang kupegang.
“Uugghh… gatel,” ujar Nenek membalik tubuhnya berbaring miring berhadapan dengan aku. Nenek menggaruk payudaranya dari luar dasternya.
“Digigit semut kali, sini Amar lihat!” aku menarik naik daster Nenek tanpa merasa bersalah.
Nenek tidak menahan. Nampaklah paha dan celana dalam Nenek. Nenek juga ikut membantu menaikkan dasternya. Terbukalah payudara Nenek.
Ketika Nenek memegang dan melihat payudaranya dengan puting kecil berwarna coklat itu, aku mendekatkan hidungku mencium.
Nenek tidak menahan aku agar tidak mengulum putingnya. Mata Nenek terpejam. Tanganku merayap ke belakang meremas-remas tonjolan pantatnya.
Nenek menggeliat. “Uugghh … Amaarr… senut-senut rasanya…” desah Nenek.
Aku menelentangkan Nenek, lalu menindihnya. “Amar buka pakaian ya, Nek?” ujarku.
Aku beranjak bangun membuka pakaianku. “Kenapa semuanya?” tanya Nenek.
Kucium paha Nenek dan celana dalam Nenek. Tentu saja Nenek tidak meluluskan permintaanku. “Nenek sayang sama Amar, kan?” tanyaku.
Nenek menarik turun dasternya, lalu melepaskan celana dalamnya. “Ayo naik, tapi jangan lihat ke bawah, ya?”
Aku menindih tubuh Nenek. Kemaluanku yang sudah tegang dipegang oleh Nenek, lalu bergerak membimbing ke lubang kenikmatannya. Lubang Nenek tidak selembut lubang Bi Inah. Nenek meminta aku hati-hati dan jangan buru-buru.
Kuturuti perintah Nenek dengan menekan penisku pelan-pelan ke lorong Nenek yang sudah tak berpelicin itu. Setelah tenggelam semua, aku menikmati dinding lorong Nenek yang berdenyut-denyut. Sensasi itu begitu nikmat.
Nenek tidak menahan aku melepaskan dasternya. Kuisap susu Nenek sambil kutarik-masukkan penisku. Nenek menggelinjang saat aku melepaskan spremaku di lubangnya.
Menunggu beberapa saat, aku menggulingkan tubuhku ke samping Nenek yang telanjang. Kudekap Nenek, kucium Nenek.
Setelah itu, aku masih bersetubuh dengan Bi Inah saat aku memasang kunci baru di lemarinya.
Terima Bi Inah, terima kasih juga buat Nenek yang telah memberikan pengalaman yang tak akan kulupakan seumur hidupku di liburanku kali ini. (Oct 18, 2016)