Jantung (Oneshot)
Jantung (Oneshot)
Sebuah sapa menyambutku saat aku membuka mata, terlihat senyuman yang lega tercetak diwajah lelaki separuh baya berkemeja biru langit.
Aku pun menebar pandanganku, melihat satu lagi seorang wanita yang juga mungkin seumuran dengannya berdiri di belakangnya, ia menautkan tangan menangis menatapku . Aku tidak mengenali mereka, yang kutahu sekarang hanyalah diriku yang masih merasakan sensasi seakan di sekitarku terus bergerak dan berputar.
“Hai! … Apa kamu dapat mendengar saya?” tanya lelaki lain yang lebih dekat denganku. Umurnya dapat dipastikan lebih muda terlihat dari wajah yang tidak menampakkan kerutan dan rambut yang masih menghitam, beda dari lelaki yang menyapaku sebelumnya yang memiliki rambut yang sudah sedikit demi sedikit menimbulkan warna putih mengkilat tidak ketara.
“Apa kamu dapat melihat saya dengan jelas?”
“…”
“Apa kamu dapat mengingat dan menyebutkan namamu?”
Pertanyaan bertubi-tubi keluar dari mulut lelaki itu. Aku menatapnya dan bersungguh-sungguh ingin menjawabnya tapi aku tidak tahu apa yang harus aku ucapkan.
“Siapa namamu? Apa kamu ingat?”
Aku tidak ingat.
———–3 bulan sebelumnya———-
“Hai … selamat pagi, sayang! Aku merindukanmu,” ucap seorang pria yang mengecup kening kemudian memandang wajah cantik wanita yang masih setia dengan tidur panjangnya.
“Hari ini aku membawakan bunga tulip merah kesukaanmu,” ujarnya sembari meletakkan bunga itu ke vas kristal yang berada di atas nakas putih disampingnya.
“Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku disini pada jam segini sayang. Maaf, bukannya aku membolos, hari ini adalah ulang tahunmu, aku tidak ingin melewatkannya. Bukannya kemarin aku sudah menepati janjiku untuk tidak membolos dari kerjaanku demi dirimu. Oh iya … sekarang Azka sedang sama bunda, ia tidak kuajak karena ia sedikit tidak enak badan, kau pasti merindukannya, lain kali kita akan bersama,” tambahnya lagi sambil membelai rambut dan mengusap pipi wanita yang sudah hampir setahun mengabaikannya karena tidurnya.
Setetes cairan bening berhasil lolos dari kelopak matanya, ia rindu akan wanita yang sudah hampir 2 tahun dinikahinya. Wanita dengan mata yang selalu terpejam dan hidung yang di tutupi masker oksigen untuk menunjangnya bernapas. Suhu tubuhnya hangat, bahkan bunyi dari alat EKG terdengar normal dan tekanan darah yang masih terlihat dari monitor pemantauan, tetap saja tidak ada tanda kemajuan bahwa gadis itu akan segera bangun dan membalas ucapannya.
Lelaki itu terus menatap wajah putih pucat isterinya dalam diam, memperlihatkan senyum menenangkan, menutupi rasa sakit akan kenyataan. sekilas lelaki itu juga memperlihatkan ekspresi wajah yang tidak dapat dibaca, hanya sekilas, bahkan seakan tidak pernah terjadi. Lelaki itu memejamkan mata dan kembali tersenyum lembut.
“Devan!” panggil pria separuh baya yang melihat dirinya terus mengusap lembut wajah wanitanya.
Devan tidak menyadari kedatangan seseorang sebelum suara berat itu memanggilnya dari arah pintu yang berada dibelakangnya.
“Iya pa?” jawabnya sambil mengusap air bening yang sekilas mengalir dari matanya.
“Papa ingin bicara dengan kamu, bisa kamu ikut papa ke ruangan papa?” pinta mertuanya itu pelan.
Devan tersenyum, ia kemudian mengecup lembut dahi istrinya. “Aku akan pergi bersama papa kesayanganmu itu dulu,” ucap Devan lembut.
Laki-laki separuh baya itu tersenyum sendu melihat anaknya begitu dicintai oleh seorang pria begitu dalam, menantunya yang selalu setia menemani anaknya bahkan sampai tidak memperdulikan anggapan orang terhadap dirinya atas pilihannya untuk bertahan.
Devan berdiri terpaku, ia terus menunduk menatap kosong ke lantai keramik putih ruangan itu.
“Duduklah Devan,” Pinta mertuanya yang telah duduk terlebih dahulu saat mereka memasuki ruang kerjanya, ruang kerja Bima, dokter sekaligus direktur rumah sakit itu.
Devan menatap datar sofa hitam yang berada didepannya , seakan tidak berniat untuk duduk karena tidak ingin berlama-lama bersama Bima. Bukan karena benci kepada laki-laki yang menunggunya untuk duduk, tapi benci dengan topik yang akan mereka bahas saat ia telah duduk di sofa kulit itu.
Bima sadar akan rasa enggan menantunya berada bersama dirinya untuk membahas sesuatu yang telah lama mereka tunda. Bukan hanya Devan, ia juga enggan, tapi inilah saatnya mereka harus sadar.
“Devan, ini sudah hampir setahun, papa dan mama sudah merelakannya, kamu juga seharusnya sudah sadar kan dengan keadaan Anya, ia bahkan sudah meninggal delapan bulan lalu Devan, kamu pasti sudah mengerti lebih dulu,” terang Bima yang tidak ingin menunggu Devan duduk terlebih dahulu.
Devan masih diam, ia memang sudah tahu bahkan sebelum ke-tiga dokter memvonis istrinya telah mengalami MO (Mati Otak). Ia hanya tidak ingin mempercayainya teori bahkan pemeriksaan yang telah ia pelajari dan lakukan—memilih memungkiri kenyataan untuk memenuhi nafsunya. Devan sendiri adalah lulusan kedokteran, meskipun sekarang ia lebih memilih untuk menjalankan perusahaan turun temurun, tapi bukan bearti dia buta akan hal medis. Ia benar-benar tahu, namun saat ia menggenggam tangan Anya yang hangat, ia yakin Anyanya akan segera bangun. Devan memilih menolak ventilator alat satu-satunya penunjang organ untuk terus beroperasi kecuali otaknya itu untuk dilepas delapan bulan lalu dari isterinya karena keyakinannya akan hal itu.
“Devan, ventilator bukan alat untuk mempertahankan Anya hidup, kamu tahu sendiri itu,” ujar sang ayah yang tahu jika menantunya seharusnya sadar tanpa harus di ingatkan, tapi apalah daya, teori dan ilmunya tidak bisa ia pakai pada diri sendiri.
ventilator memang bukan alat yang mempertahankan Anyanya hidup, itu hanyalah menjaga viabilitas beberapa organ. Devan tahu dengan jelas dan sadar akan keadaan isteri tercintanya. Ia pun mendongak kan kepalanya dan memejamkan matanya cukup lama.
“Devan dan Azka masih membutuhkan Anya pa,” tutur Devan datar dengan manik matanya yang mulai berkaca-kaca menatap ayah mertuanya. Ia masih tidak sanggup menerima kenyataan akan kesadarannya.
“Devan, dia sudah bukan Anya, kamu tahu MO itu sama saja meninggal, bahkan mama saja sudah tidak sanggup untuk datang kesini lagi, ia hanya ingin Anya tenang di makamkan.”
Devan menunduk dalam diam, ia memang tidak tahu harus berkata apalagi untuk mempertahankan sesuatu yang sia-sia menurut orang lain itu. Meskipun ia berpikir tidak, ia juga memang tidak memiliki alasan untuk membantah. Ia hanya ingin melihat wanita itu ada, hanya itu. Beralih membuang semua pikiran logisnya untuk memuaskan hasrat egoisnya.
“Devan, Anya adalah anak kami satu-satunya. Tolong jangan siksa Mama Anya lebih jauh berharap Anya akan bangun lagi,” pinta bima dengan kelopak mata yang juga mulai membendung. Sebenarnya ia sendiri masih sakit mengatakan anaknya telah tiada, tapi ia adalah seorang ayah yang harus bersikap tegas, ini hanyalah keegoisan mereka yang masih tidak mau menerima kenyataan.
Devan memejamkan mata cukup lama, menarik nafas dalam dan menghembuskannya.
“Hanya untuk malam ini,” pinta Devan kemudian pergi meninggalkan ruangan itu.
Bima menatap sedih kepergian Devan, mereka semua begitu menyayangi Anya, Anya yang ceria dan manja yang selalu tertawa akan kebodohannya. Anya mereka yang bodoh, ia bahkan tidak menyelesaikan kuliah kedokterannya karena tidak mampu dan awalnya hanya untuk mengikuti kekasihnya. Devan pun harus mendahului Anya untuk mendapatkan gelar. Bukan bearti Devan tidak pernah mengajari, Devan hanya tak kuat membantah keluh kesah manjanya Anya yang selalu lelah dan mengeluh mulai sakit kepala jika memikirkan hal yang sulit. Devan memang begitu sempurna untuk Anya yang tidak sempurna. Tetapi bagi Devan dan keluarga apalah arti mereka tanpa seorang Anya. Justru kehadiran Anya yang membuat mereka sempurna dan hidup lebih bewarna.
Devan kembali menatap istrinya yang cantik dengan kulit putih pucatnya, mencoba kembali mengenang saat pertemuan pertama mereka. Pertemuan yang terjadi saat mereka menginjak bangku Sekolah Menengah Atas.
Devan yang saat itu menjadi panitia MOS bertemu dengan Anya Bima yang menjadi siswa baru disekolahnya.
“Aku mencintaimu kak Devan!” ungkap gadis itu seraya tersenyum manis. Senyuman termanis yang menurutnya telah ia berhasil kerahkan, namun matanya mengkhianati usaha dengan memelototi laki-laki yang harus membuat dirinya mendongak karena tinggi badannya.
Devan mengerutkan dahinya menatap, jelas gadis itu adalah siswi baru terlihat dari kaus kakinya yang tidak berpasangan, tali rapia berbagai warna yang merumbai-rumbai menghiasi kepala dan kertas kardus yang menggantung di lehernya.
Devan beralih menatap tajam teman yang berada di sampingnya.
“Itu bukan hukuman Bro, dia serius,” kekeh teman bertubuh ceking yang sedari tadi bersamanya menonton gadis itu menyatakan perasaannya.
Devan kembali menatap gadis bertubuh mungil itu. Gadis itu masih saja mempertahankan garis bibir dengan kedua ujung yang menukik dan mata yang membulat hampir seperti bola bekel. Ia kemudian terlihat memainkan ujung kuku jari jempolnya dengan jari telunjuknya dan bibir bagian bawah yang digigitnya yang semakin memperjelas kegugupannya.
Devan menjawab dengan hanya tersenyum miring dan meninggalkan gadis yang seketika mematung karena telah ditolak olehnya.
Awalnya Devan merasa aneh akan Anya. Setahun Devan diikuti oleh gadis aneh itu, kesal tapi Devan tidak bisa benar-benar mengabaikannya. Ia selalu membawa setumpuk PR dari sekolah kerumah untuk meminta bantuan Devan. Anya gadis yang ramah, lucu, yang selalu cengengesan akan kebodohannya. Sifatnya yang welcome membuatnya begitu mudah akrab dengan orang tua Devan, ia seperti memiliki magnet yang membuat orang disekitarnya tertarik untuk lebih dekat dengannya dan selalu membantunya.
Tanpa sadar Devan mulai menyukai gadis itu. Gadis yang bodoh yang selalu mengikutinya meski telah beberapa kali di tolaknya, hingga akhirnya ia pacari dua tahun kemudian setelah pertemuan mereka. Begitu sayangnya Devan bahkan mengganti jurusan kuliahnya yang awalnya lebih mengarah ke bisnis di semester ke-5 menjadi kedokteran saat melihat wanitanya itu sakit dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Pernikahan pun terjadi segera setelah Devan menyelesaikan pendidikannya, kemudian tidak perlu menunggu lama buah cinta mereka hadir 7 bulan kemudian. Azka, anaknya yang lahir prematur yang saat ini berumur 1 tahun 1 bulan.
Mengenang itu membuat Devan kembali menundukkan kepalanya, menggenggam erat tangan Anya sesaat kemudian melepaskannya. Air matanya tumpah dan mengalir deras sederas rasa sakit yang telah lama di tahannya. Kedua tangannya terbujur lunglai seakan tak lagi bernyawa.
“Maafkan aku. Aku begitu egois, kau pasti marah kepadaku disana.” Devan menengadahkan kepalanya ke langit kamar rumah sakit yang bewarna putih polos. Suara tangisnya tersedu menggema di seluruh ruangan.
“Maafkan aku … Maafkan aku,” rintihnya tiada henti. Bahunya bergetar, kakinya terasa tak lagi dapat berpijak. Ia sekarang sepenuhnya sadar akan wanitanya yang telah pergi lama. Tidak akan pernah bisa lagi kembali membuka mata dan memeluk manja dirinya. Kecelakaan maut tunggal yang terjadi sebelum hampir genap satu tahun pernikahan membuat mereka berpisah, dan devan hanya bisa melihat wanitanya terbaring dengan tenang di tempat tidur rumah sakit selama hampir setahun setelahnya.
“Aku hanya tidak sanggup Anya, kau bahkan tidak memberikan hak Azka sepenuhnya mendapatkan Kasih sayangmu sebagai ibunya. Hidupku sudah kuserahkan padamu sejak lama. Aku rasanya tidak ingin menepati janjiku untuk hidup dengan baik saat kau tidak ada. Kau selalu marah ketika aku memberi waktuku sepenuhnya untukmu. Kau selalu memarahiku yang membolos kerja hanya untuk bertemu denganmu. Aku merindukanmu Anya, Azka dan aku merindukanmu.” Tangis Devan pecah, ia tahu tidak baik menangis begitu pilu karena itu akan membuat Anya semakin tidak tenang diatas sana.
“Terimakasih, terimakasih untuk cintamu padaku, terimakasih untuk semua yang kau berikan padaku, aku mencintaimu,” tambahnya lagi dengan suara serak yang bercampur dengan tangis sendunya.
***
“Dokter!, ada pasien korban kecelakaan yang baru saja datang, sudah kami pasangkan EKG dan ternyata hasilnya memburuk dokter,” adu salah satu koas kepada Bima.
Bima pun datang menghampiri pasiennya yang pucat karena telah banyak mengeluarkan darah, ia pun memeriksa pasien itu dengan intensif. Melakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menguatkan diagnosanya.
“Bawa dia keruang operasi, dan hubungi keluarganya!” perintah Bima kepada salah satu perawat.
“Saya dok,” ucap salah seorang wanita yang cukup renta menghampiri Bima.
“Begini bu, pasien ini harus segera di operasi, ia harus mendapatkan pendonor jantung, telah terjadi penyumbatan yang membuat jantungnya rusak yang membuat kami harus melakukan transplantasi jantung kepada anak ibu,” papar Bima singkat namun cukup jelas kepada wanita renta akan keadaan kritis keluarganya itu.
Ibu itu seketika terduduk, ia menangis meraung.
“Ya ampun nak! gimana nasibmu nak, tolong dokter, selamatkan anak itu!” tangis ibu pecah. Ia sampai memegang kedua kaki Bima dan memohon kepadanya.
Melihat ibu itu tentu memberikan rasa iba yang dalam bagi Bima. Jelas pasien itu masih muda, sangat disayangkan gadis semuda itu harus pergi dengan cepat begitu saja. Mencari pendonor jantung bukanlah semudah mencari pendonor ginjal.
Sesaat berpikir hal itu cukup sulit akhirnya Bima pun kemudian tersenyum lega. Kini Bima tahu dan yakin pendonor yang tepat dan sudah siap untuk pasien itu.
“Iya, saya usahakan semampu saya, ibu juga tolong bantu dengan doa.”
***
Di ruang operasi para perawat sibuk mendorong brankar dan memposisikan serta memindahkan wanita yang baru saja mereka bawa masuk itu ke meja operasi. Meja operasi yang sejajar dengan pasien yang sudah banyak terpasang berbagai selang yang terhubung pada alat serta tabung oksigen disampingnya. Tubuhnya pun telah ditutupi duk steril yang hanya akan memperlihatkan bagian dadanya.
Bima memasuki ruang operasi dengan kedua tangan yang diangkat untuk menjaga ke sterilan, setengah wajahnya ditutupi masker serta kepalanya yang telah ditutupi topi operasi. Ia menyempatkan diri melihat keruangan pemantauan yang berada didepannya, ruang yang dibatasi dengan dinding kaca bening. Ia melihat isterinya yang hanya menangis tengah dipeluk oleh besannya yang juga melihat kearah dirinya.
Bima menatap sendu isterinya untuk bertanya dalam diam,
apakah ini pilihan yang tepat?,
sang isteri mengangguk pelan, ia mengerti akan tatapan sendu itu.
Perawat pun segera membantu Bima mengenakan baju operasi dan memakaikan handscone sterilnya untuk melengkapi alat perlindungan diri serta menyempurnakan kesterilan operasi mereka.
Bima berjalan mendekati tubuh wanita yang baru saja juga ditutupi duk steril dengan bagian yang dibiarkan terlihat sama dengan pasien disebelahnya.
“Kamu pasti senang telah membantu orang lain kan Anya?!” ucap Bima lirih dengan senyum sendu yang ditutupi oleh masker hijau mudanya.
“Ayah sangat menyayangimu,” sambungnya.
“Papa, Maaf tadi Anya nolongin kucing yang hampir tertabrak motor pa,” sadu anya kecil sambil menggigit bibir bawahnya dan satu tangan menutup luka disikunya, ayahnya yang sedang memeriksa luka yang juga ada dilutut Anya tercengang akan apa yang dituturkan gadis kecilnya ini.
“Anya, itu bisa membahayakan nyawa, jangan lakukan lagi!” pinta Bima sambil mengoleskan cairan antiseptik di lutut gadis kecil itu.
“Ga apa-apa kok pa, anya lebih suka mengorbankan nyawa untuk hidup orang lain. Anya tidak mau ketika melihat tapi berpura-pura tidak tahu karena takut akan kita yang kehilangan nyawa,” jawab Anya polos.
“Papa tidak suka prinsip kamu itu sayang. Kamu kan punya keluarga yang menyayangimu kamu, kamu tega ninggalin papa sama mama dan membuat kami sedih?”
“Papa dan mama akan baik-baik saja, sedih pasti ada, tapi pa … ketika Anya yang akan disana duluan, Anya akan lebih dekat dengan Tuhan, bisa enak dong minta Tuhan kasi surga buat papa dan mama,” terangnya.
Bima tersenyum, begitu baiknya anak semata wayangnya ini.
“Kamu akan berada di surga sayang. Tapi papa dan mama masih sangat menyayangimu kamu, saat ini kamu berada di samping mama dan papa hanya dengan terus berdoa itu sudah bisa sangat membantu papa dan mama masuk surga sayang,” ucap Bima lembut dan dibalas dengan senyuman manis dari Anya kecil.
“Mari kita lakukan!” lanjut Bima setelah sesaat mengenang pembicaraan ia dengan anaknya, asisten dan perawat pun sudah siap untuk mengikuti arahannya.
Devan memasuki ruang pemantauan. Terlihat ibu mertuanya serta bunda nya saling berpelukan dan menangis bersuara. Wajah devan datar, mata serta tubuhnya langsung menghadap kearah yang ia inginkan. Berat dan sakit tapi hanya ini yang bisa dilakukan. Kristal bening menggenang dipelupuk matanya melihat jalannya operasi yang tengah dilakukan oleh Bima. Manik matanya hanya tertuju pada tubuh wanita yang baru saja dibelah dadanya dan telah diangkat jantungnya tanpa melihat kemana arah jantung itu kemudian diletakkan.
Hanya kepada satu tubuh . Hanya tubuh itu yang ditangkap oleh matanya. Ia merasa tidak percaya, baru sesaat yang lalu ia masih dapat merasakan hangat tubuh itu dan grafik jantung yang terlihat masih bergerak di monitor tapi tidak akan lagi setelah ini. Wajah devan tanpa ekpresi dan hanya air dari matanya yang mengalir memberi jendela untuk melihat betapa sedih dirinya.
Aku akan setia padamu sebelum ini, saat ini, dan juga setelah ini.
***
Pemakaman pun telah dilakukan, Devan hanya menatap sendu gundukan tanah yang masih memerah basah itu. Ibu devan mengusap punggung lena, ibu kandung Anya yang masih menangis pilu. Semua keluarga hadir dipemakaman termasuk Azka anak semata wayang Anya dan Devan yang juga ikut menangis seperti sudah mengerti akan keadaan yang berada di gendongan pengasuhnya. Setelah sekian lama satu persatu keluarga dan kerabat yang menghadiri proses pemakaman itu telah pergi meninggalkan Devan yang menatap nanar masih tidak percaya akan apa yang telah terjadi. Air mata Devan kembali jatuh, ia kemudian menyentuh batu nisan yang bertuliskan nama Anya Bima dengan lembut
“Aku mencintaimu … sungguh … dan dirimu tak akan tergantikan.”
———–kembali ke awal cerita———
“Haii! apa kamu dapat mendengar saya?” tanya seorang dokter yang sedari tadi tanpa menyerah memeriksa kesadaran gadis yang baru siuman setelah 3 bulan semenjak operasi beratnya.
“Apa kamu dapat mendengar saya?”
“Apa kamu dapat melihat saya dengan jelas?”
Gadis itu mengangguk pelan menandakan ia dapat mendengar dan melihat dengan jelas
“Apa kamu dapat mengingat namamu?”
“Siapa namamu?, apa Kamu ingat?”
Gadis itu menatap ke 5 orang didepannya secara bergantian. satu orang lelaki berjas putih yang terus saja bertanya padanya, perawat wanita yang sedang mengecek cairan infusnya, sepasang separuh baya dengan wanita yang terlihat menangis haru sambil menautkan kedua tangan di depan dadanya sedangkan lelaki berkemeja biru laut yang memeluk sambil tersenyum haru menatapnya, dan terakhir wanita renta yang sedang menutup mulut dengan kedua tangan seperti terkejut menatap dirinya.
Setelah selesai memperhatikan, gadis itu kembali memejamkan matanya mencoba mengingat siapa dirinya.
Gadis itu pun menggeleng pelan. Ia tidak mengingat namanya bahkan dirinya sendiri.
Melihat respon gadis itu sontak tangis pilu keluar dari seorang wanita renta. Gadis itu menatap menyelidik, mencoba mengenali tapi ia benar benar telah melupakan ingatannya.
“Anya!” panggil wanita separuh baya yang kini datang menghampiri dan memeluk dirinya. Gadis ini hanya sedikit terkejut dan membalas pelukan wanita itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Ingatlah baik-baik, aku adalah ibumu.”,,,,,,,,,,,,,