Inikah Cinta???
“Hoammmssss, ya ampun jam 9… telat neh… telat neh…” aku panik. “Mak, kogh gak bangunin Wendi seh…” ucapku dengan emakku yang saat itu sedang berada di dapur. “Lah, kan sudah dibangunin tadi…. kamu tuh tidur kayak kebo…” “Kogh gak dengar?” Jawabku sambil masuk kamar mandi. “Kan kebo” Sindir emak. “Yeeeeee… Berarti emak, induknya kebo donk. Hahahahaha…” Jawabku gak mau kalah. Hari ini, Senin 05 Maret 2012, aku mulai bekerja di sebuah Akademi Keperawatan ternama di kota ku. Setelah beberapa bulan mencicipi keringat payah selama di tempat kerja dulu, akhirnya aku berpikir untuk bekerja lagi dan tidak susah buat aku dengan titel Sarjana Komputer pada sebuah Universitas ternama di Jakarta untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. ############ Sehari sebelumnya… ############ “Wen, jadi gak neh main bola futsalnya” telpon Joni, salah satu anggota tim futsal amatir asal jadi. “jadi lah, neh udah mo berangkat” “buruan dodol, gersang di sene” “ya bos… tunggu di sono ya, bentaran lagi nyampe…” Ku pacu motor kesayanganku menuju stadion futsal dengan penuh semangat. Gak butuh waktu lama, cukup dengan 15 menit. Hehehehe… “lama…..” ucap Joni “Woles mbah bro. Eh, aku pemanasan dolo ya” ucapku sambil berlari-lari kecil. Gak perlu waktu lama untuk bermain futsal, setelah selesai badan pun terasa lelah. Emang gak lama seh, dari jam 5 sore ampe jam 8 malam. Lumayanlah. “Jon, aku duluan ya. Pegel…” tegur ku di ruang ganti. “gak gabung ama anak-anak dulu wen?” “gak ah, laen kali. Besok hari pertama masuk kerja.” “Oh, ya udah gak masalah. Kerja dimana emangnya.” “Di situ, Akper Butuh Cinta, siswanya banyak yang bikin ngiler. Hehehehe…” jawabku sambil berlalu. “Kalo ada yang cantik, kenalin ya…” Aku cuma mengacungkan jempol ke arah Joni tanpa berbalik badan kemudian melambaikan tangan. “Waduh pegel bener neh badan, gak kayak biasanya. Ketempat biasa aja dolo ah…” aku berbicara dalam hati. Ya, pijat tradisional itulah tempatku selanjutnya, aku jarang seh ke sana tapi bisa dikenal sama yang punya. Hehehehe… “Eh mas Wendi, udah lama gak ke sene..” sapa Mbak Tini, seorang tegal yang sudah lama menetap di kota ini. “lama gimana mbak, orang baru seminggu gak ke sene…” “Iya kah? Maklum dah tua… hehehehehe…” candanya. “Pijat mas?” “Kagak mbak, ke sene cuma mo renang. Ya iyalah mbak.” “Hahaha… Silahkan dipilih mas, yang mana? Mo sama yang biasa atau yang laen?” Tanya mbak Tini sambil menunjukkan foto di meja. “Yang laen bisa mijit gak mbak…” “Ya lah, kan tukang pijat” “Oke, aku pilih yang ini aja. Kayaknya anak baru neh mbak.” Jawabku sambil menunjukkan fotonya. “Bisa, bentar ya. Lidya, kerja ada pasien…” ucap Mbak Tini. “Iya ma..”jawab Lidya yang langsung keluar dari sebuah kamar tunggu. “Mari mas ke atas.” Ucap Lidya “Oh iya. Ayo mbak, aku ke atas dulu.” Aku sempat terpana dengan kecantikan Lidya, tegurannya membuyarkan semuanya. Tidak salah aku memilih Lidya untuk memijatku. “Baru ya deg” tanyaku pada Lidya. “Iya mas, baru datang dari Bandung 2 hari kemaren.” “Oh, wajar aja baru liat.” “Dipakai sarungnya mas.” Ucap Lidya. “Gak ah, ribet. Deg, tadi pengennya cuma pijet doank tapi kogh jadi kebelet gini ya?” Pancingku. “Kebelet gimana mas?” Tanya Lidya. “Itu, buang anak. Hehehehe..” Jawabku sambil melepaskan semua pakaian. “Oh… kirain apa.. itu bisa di atur. Yang penting mas pegel kan, kita pijat dulu.” Ucap Lidya sambil tersenyum mesum. “Bisa di atur ya. Tapi jangan mahal selangit ya.” “Gak lah mas, samakan aja sama yang udahan.” “Baiklah kalo begitu sayang.” Ritual pemijatan pun dimulai, dari kaki sampai ke seluruh punggung. Dan selama ritual Lidya bercerita bagaimana dia bisa ke kota ini, ternyata Lidya adalah seorang janda muda yang masih berusia 20 tahun, akibat perselingkuhan suami semua menjadi berantakan. “Deg, lumayan gede neh nenen, ukuran berapa?” Tanyaku sambil memegang payudaranya Lidya meski masih dihalangi baju. “Coba aja tebak berapa?” Jawabnya sambil memijat daerah dadaku. “Gak ah” “Ya udah, kalo gak mau.” “Adaw, sakit sayang.” Bisikku pada Lidya yang dengan sengaja meremas kontolku. Ya, sedari tadi kontolku telah berdiri. “Mas, anunya udah ngaceng ya. Hihihi…” Dengan perlahan, tangan Lidya yang dari tadi memijat ke arah dada berputar mencari mainan baru. Di elusnya perlahan, di kocoknya sambil di maju mundurkan tangan halusnya. “Terus sayang, enak…. ssshhhh…. ahhh…” aku pun di buat merem melek oleh Lidya. Tanpa aku sadari, sesuatu yang lembut telah menyapu kepala kontolku. Aku mencoba melihat ke bawah, dan ternyata Lidya telah mengoral kontolku dengan lincah. Lidah itu menari-nari di atas kepala kontolku, mulai menjilati lubang dan aliran kencing. “Nikmati saja mas, sekarang waktunya buat relaksasi” ucap Lidya. “Sayang, buka donk bajunya. Masa aku sendiri.” “Bukain donk mas. Hehehe…” jawab Lidya manja. Aku buka baju nya dengan sabar, kini terpampanglah payudara nan indah yang berlapis BH. “Mas… ssshh… terus… ssshh… aaggghhh…” lenguh Lidya disaat aku mencium leher jenjangnya. Lidya menarik rambutku, walaupun rada sakit, tapi nafsu mengalahkan segalanya. Bibir kami saling bertemu, berlomba menyatukan lidah. Air liur pun mulai menetes ke lantai. Lidah kami menyapu langit mulut dan itu terasa nikmat. “Ah… sshhhh… ahhh” Desah Lidya yang membangkitkan kelakianku. Tanganku mulai merambah payudara Lidya yang masih terbungkus BH dan tangan Lidya begitu aktif mengocok perkakasku. “Enak sayang?” Tanyaku sambil melepaskan pagutan bibir kami. Lidya hanya menganggukkan kepalanya. Lidya, cewek cantik berbibir sensual, siapapun pasti akan ketagihan bila berciuman dengannya. “Nih anak mahir bener ciumannya, wajarlah janda…” ucapku dalam hati. “Mas… ayo lanjutkan…” “Siapa takut… hehehehe”. Tanganku kesulitan dalam membuka BH Lidya, dan dia pun mengetahui itu. Di tuntunnya tanganku, dan terbukalah apa yang tadi membuat aku terpana. Kuremas pelan payudara kirinya yang membuat Lidya mendesah keenakan. “Ssshhh…terus.. terus.. putingnya mas, putingnya…” pinta Lidya tapi tak aku hiraukan. Aku terus meremas tanpa mengenai puting payudara itu. Secara naluriah, kumajukan lidahku ke payudara kanan Lidya tanpa menghentikan aksi tangan kiriku. Serasa susah, aku ajak Lidya berbaring di atas tempat tidur pijat tersebut. Ku mainkan lagi, ku telusuri payudara itu secara bergantian dan… “Ah… sshhh… ssshhh..aaahhgg…teruss.. ya di situ… isap yang kuat mas… sshhh..” ceracau Lidya di saat aku memainkan putingnya secara bergantian dan frontal. Tangan Lidya begitu semangat, semakin ku hisap puting itu semakin liar tangan itu mengocok senjata ku. Serasa cukup mengerjai payudaranya, aku pun mulai berkelana ke arah yang lain. Lidahku berputar, menggelitiki perut rata yang tak berlemak kemudian menyusuri pusar. Seakan tak sabar, aku lansung membuka celana pendek yang di pakai beserta celana dalam Lidya yang berenda. “ahhhkkk…ayo mas.. ssshhh… enakk…” di saat aku mulai menjilati bibir memek Lidya yang sudah basah oleh cairan kewanitaannya sendiri. Tak ada bau yang bisa membuat muntah, aku mulai membuka bibir itu secara perlahan dan mencari kacang kecil. Tidak sulit mencarinya karena Lidya sudah terangsang. “Aw… enak.. aw…aw. shhhss… ahhh..sshhh” lenguh Lidya saat aku memainkan clitorisnya. “Slurp…cup..cup..” decak lidahku. “Mas… Jangan siksa aku, ayo masukin.” Lidya memelas dengan muka menahan birahi tinggi. “Aw… jangan di gigit…” saat aku mempermainkan clitorisnya. Lidya pun merapatkan pahanya saat aku masih keasyikan bermain di daerah sensitif itu. Akibatnya, aku susah untuk bernapas dan menyudahi aksi tersebut. “Mas, ayo… masukin…” rengek Lidya. Aku hanya tersenyum sambil mengambil posisi man on top. Lidya mulai melebarkan pahanya, yang berarti telah siap untuk menerima senjata andalanku. “Ehkkkk….trus…” ceracau Lidya. Aku mulai konsentrasi, walaupun Lidya sudah janda, tapi memeknya begitu legit. Ku goyangkan pinggulku secara berkala. Itu membuat Lidya menjadi semakin mendesah keenakan. “Sssssshhh” “Akhhh… mmmmpppttt… aaakkkghhh… yang kencang mas… bentar lagi kena neh… akkhhh… terusss… maasssss… ssshhhh..” ceracau Lidya. “Eeeggh…aaaahhhhggggg… eeeegghhh… sssssttt… asshhhh…sshhhh… mas… keluar neh…ahh..enakk… nikmat..” Ucap Lidya. “Aku nyampe juga neh… ahhhh” Sahutku pada Lidya. Aku tidak segera mencabut kontolku pada memek Lidya. Aku tunggu sampai mengecil terlebih dahulu. “Mas, makasihya” “Iya sayang,muachhh”ku kecup keningnya dengan lembut. Kami pun saling bertukar nomor telpon, dan setelah berpakaian kembali, ku ambil uang dari dompet ku dan ku berikan yang sesuai apa yang dijanjikan. Kemudian aku pamit kepada semuanya. Aku pun kembali kerumah, tapi seluruh badan masih terasa sakit. Ah, masa bodoh lah mungkin di bawa tidur akan lebih baik. “Mekommm” Setiba aku di rumah. “Kumsalam, alangkah malam kamu balik wen?” Tanya emakku. “Biasa mak, pertempuran di karpet hijau. Seru tadi, tapi kalah. Hehehehe…” ku jawab sambil melihat jam di dinding yang saat itu jam 10 malam. “Ya udah, mandi sono trus makan.” Kata emak. “Oke bos, ayah mana mak? Lagi mancing ya?” “Ya.” Jawab emak sambil masuk kamar tidurnya.