Di Pernikahan Adik Iparku

Di Pernikahan Adik Iparku

ADIK iparku akan menikah pada hari Sabtu. Aku dan istriku sudah sampai di rumah keluarganya pada hari Kamis.

Acara pernikahan adik iparku bukan berlangsung di gedung pertemuan atau di hotel, melainkan di rumah karena keluarga istriku tinggal di kampung.

Mertuaku mempunyai 4 orang anak, terdiri dari 3 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Anak laki-laki adalah anak bungsu, dan yang akan menikah ini adalah anak yang ketiga, usianya 24 tahun.

Istriku, anak yang kedua, usianya 27 tahun. Sedangkan anak pertama berusia 31 tahun, sudah menikah dan sudah punya 1 orang anak.

Kami berdua sampai di sana, rumah mertuaku yang akan dijadikan tempat pesta sudah ramai. Aku sebagai menantu tentu saja tidak bisa tinggal diam melihat kesibukan di rumah mertuaku.

Aku membantu memasang tenda, meskipun tugas pemasang tenda sudah diserahkan kepada petugas yang tendanya kita sewa, tetapi sebagai tuan rumah kita wajib mengawasi.

Kemudian membantu istri membersihkan kamar untuk saudara yang datang dari jauh akan menginap, karena bapak mertuaku maupun ibu mertuaku punya banyak saudara.

Badan capek sehabis membantu, pada malam harinya aku berbaring saja di karpet yang digelar di ruang tengah.

Aku tidak terpengaruh dengan suara orang ramai yang masih ngobrol di luar rumah atau dengan asap rokok yang mengepul-ngepul menyelinap masuk ke ruangan tempat aku berbaring.

Entah jam berapa aku terbangun karena aku merasa memeluk seseorang. Ternyata yang aku peluk bukan istriku. Ruangan gelap saat itu dan aku kaget tentu saja.

Sebaliknya orang yang aku peluk tidak terbangun. Ia adalah kakak iparku.

Saat itu, naluriku sebagai seorang laki-laki tidak lantas kutinggalkan setelah aku beristri, apalagi tubuh Indri lebih berisi dari tubuh istriku. Buah dadanya montok dan bokongnya bulat besar.

Tanganku yang sudah kujauhkan, kulingkarkan kembali ke perut Indri. “Ehh…” Indri terbangun menyikut aku. “Istrimu ada di ujung sana!” tegur Indri.

Indri tidak berani menegur aku dengan suara keras, mungkin ia takut yang tidur di sebelahnya bangun, yaitu kakak iparnya, istri dari kakak suaminya.

Aku nekat tidak mau menghiraukan kata-kata Indri. “Mau dibawa pergi nggak itu tanganmu?” tanya Indri. “Nanti aku teriak, ya…!”

Karena aku sudah nekat, ancaman Indri tidak membuat aku takut, malah membuat aku memeluk Indri semakin erat dan berusaha mencium tengkuknya, ia menyikut aku.

Geliat tubuh Indri yang tidak terkendali itu semakin membuat aku menggila. Tanganku berpindah dari pinggangnya mencengkeram payudaranya yang terbungkus BH berbentuk bulat.

“Ih… orang gak mau, maksa…!!” katanya karena saat itu penisku yang tegang sudah menekan ke belahan pantatnya.

“Siapa yang maksa? Maksa itu gak enak.” kataku membalik Indri.

Sewaktu Indri mau aku telentangkan, aku segera naik menindih Indri dan mencium bibirnya.

Mula-mula ia memberontak, kepalanya menggeleng ke kiri dan ke kanan.

Tetapi sewaktu aku mendapat kesempatan, aku terkam lehernya. Mungkin di daerah itu tempat sensitifnya, kalau disentuh membuat napsunya bangkit, Indri langsung terkulai.

Ia memandang aku dengan mata sayu. “Pindah…! Jangan di sini…!” katanya.

“Kamu mau…? Apa nggak merasa terpaksa…?” tanyaku.

Indri beranjak bangun dari baringnya tidak menjawab aku. Ia pergi ke belakang. Habis dari belakang sebentar, ia naik ke lantai 2.

Karena aku bukan penghuni di rumah ini, sedangkan Indri tinggal di sini, sewaktu aku ikut naik ke atas, ternyata di lantai atas terdapat 1 kamar kosong, tetapi tidak ada tempat tidur dan kasur, yang ada hanya tikar pandan yang pinggirnya sudah rusak.

“Ngapain kamu ikut aku naik ke sini..?” tanya Indri. Seandainya ia mengajak aku ribut, bisa kelabakan aku, batinku.

“Aku mau minta maaf…” jawabku.

“Merasa bersalah…?” Indri bertanya.

“Nggak…” jawabku. “Kalau kamu berani terima tawaranku menjadi istri kedua…”

“Berani bayar berapa…?”

Aku maklum kalau Indri bertanya begitu padaku, karena hidup suaminya luntang lantung. Indri masih menggantungkan hidupnya pada bapaknya.

Untung bapak mertuaku masih ada uang pensiun karena dulu beliau PNS, punya rumah yang disewakan, punya tanah.

Coba saja kalau kakak iparku itu mau mengolah tanah dari mertuanya itu, ia bisa menjadi petani yang sukses. Apalagi sekarang harga cabe semakin ‘pedes’ saja….

 

“Aku jamin hidup kamu sama Cacah…” jawabku.

Indri tau aku dan adiknya itu bekerja dan setiap bulan istriku tidak pernah lupa dengan kedua orangtuanya.

Bukannya aku sombong, dengan gajiku sendiri saja aku sanggup menghidupi Indri dan anaknya, setelah aku potong dengan angsuran apartemen, angsuran mobil, asuransi, dan aku kirim pulang untuk orangtuaku.

“Nggak,” jawab Indri. “Siapa yang mau jadi istri kamu? Kasih aku modal saja bikin warung nasi…”

Indri duduk di tikar. Aku duduk di sebelahnya. “Ok…” jawabku. “Kapan kamu mau mulai…?”

Indri memandang aku dengan mata sendu. “Aku gak akan cerita sama Noni,” kataku meyakinkan Indri.

Dalam sekejap tubuh Indri yang ranum sepenuhnya sudah berada dalam pelukanku. Dengan beringas aku mencium bibir Indri sembari tanganku meremas-remas bokong kenyalnya.

Indri tidak menolak seperti tadi aku mau mencium bibirnya ia menggeleng-geleng. Lalu aku menaikkan tinggi-tinggi daster Indri untuk mencopot celana dalamnya.

Dan sejurus kemudian tersingkap sudah apa yang selama ini tersembunyi. Aku meraba-raba dan mengelus-elus belahan vagina Indri. Bulu kemaluan Indri hanya sedikit tumbuh di daerah pebukitan vaginanya.

“AAAAAAAAAAAHHHHH…. OOOOOOHHH….” rintih Indri.

Secepatnya aku melepaskan daster Indri.

Sebentar saja tetek Indri yang montok ditutupi dengan BH yang berwarna coklat itu sudah berada di depanku. Tetek yang putih kenyal itu seolah-olah ingin meloncat keluar dari BH Indri yang ketat.

Perutnya yang rata dan mulus itu terlihat sangat merangsang dihiasi dengan puser yang kecil.

Dan dengan lincahnya tangan kananku bergerak ke belakang membuka pengait BH Indri.

Setelah BH itu aku lepaskan, terpampanglah kedua tetek Indri yang montok dan sangat mulus itu dengan putingnya yang berwarna coklat tua dikelilingi bundaran berwarna yang lebih gelap dari putingnya yang mencuat.

Aku membiarkan dulu payudara Indri. Aku menciumi belakang telinga Indri dan kemudian lidahku bermain-main di dalam kuping Indri.

Kepala Indri tertengadah ke atas dan tubuh bagian atasnya yang terlanjang melengkung ke depan, ke arahku. Teteknya yang besar dan masih kencang itu seakan-akan menantang aku.

Aku langsung bereaksi, tangan kananku memegangi bagian bawah tetek Indri sedangkan mulutku mengisap kedua puting itu secara bergantian.

Mula-mula tetek yang sebelah kanan menjadi sasaran mulutku. Tetek yang kenyal itu hampir masuk semuanya ke dalam mulutku dan aku mengisap-isapnya dengan lahap.

Lidahku bermain-main pada putingnya sehingga tetek Indri bereaksi cepat menjadi keras.

“Sssshhhh…. oooohhhhh…. aauuuhhh… aahhh… ahhhh…”

Aku tidak mau dinterupsi dan diliputi oleh nafsu birahi yang tinggi sambil memegang kedua paha Indri, aku merentangkannya lebar-lebar, aku membenamkan wajahku ke selangkangan Indri.

Mulutku mengulum vagina Indri dan lidahku menjilat-jilat sepenuh nafsu. Indri hanya bisa memejamkan mata,

“Ooohh… ooohhh…. nikmatnyaaa….., aaauuugghhh… ooohhhh…. ooohh!” rintih Indri sampai tubuhnya menggelinjang-gelinjang kegelian.

Tanganku yang melingkari kedua pantat Indri kini dijulurkan ke atas, mencamplok dan meremas-remas kedua tetek Indri dengan sangat bernapsu.

Menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilancarkan olehku, vagina Indri telah basah kuyup.

“Aakkhh…. aaaaaakkhh… enn…aakkk… tru…uusss…” rengek Indri menjepit kepalaku untuk melampiaskan nikmat birahi yang menyerangnya, dijambaknya rambutku kuat-kuat.

Indri menggeliat-geliat menahan nikmat, kepalanya bergoyang ke sana kemari atas birahi yang melandanya.

Aku segera membuka kancing dan ritsleting celanaku. setelah itu aku melepaskan celana yang kukenakan sekalian dengan celana dalamku.

Pada saat celana dalamku terlepas, maka penisku yang telah tegang sejak tadi itu seakan-akan terlonjak bebas mengangguk-angguk dengan gagahnya.

Aku menggenggam batang penisku untuk memasuki tubuh Indri, kakak iparku itu. Kepala penisku yang membulat itu kugesek-gesekkan pada klitoris dan bibir kemaluan Indri.

Gejolak birahi kami semakin membara…

Terus aku berusaha menekan penisku ke dalam lubang vagina Indri yang memang sudah sangat basah.

Merasakan sensasi yang luar biasa, aku semakin bernapsu bercinta dengan Indri.

Aku menekan penisku dengan mendorong pantatku ke depan dengan sekali menghentak, “Aaaauuuuuww…….!!” jerit Indri.

Tetapi penisku sudah tertelan oleh lubang vagina Indri. Aku segera memacu penisku di antara kedua paha kakak iparku itu. Tubuh kakak iparku terlonjak-lonjak mengikuti tekanan dan tarikan penisku.

”Oooh…. ena…kkkkk…. terruuu…uuuss….” Indri merintih-rintih melawan badai birahi yang menerpanya, sementara itu ia menggoyang dan memilin-milin penisku.

Pinggulnya memutar-mutar ke kiri dan ke kanan serta melingkar, sehingga penisku yang tegang seakan mengaduk-aduk dalam vagina Indri.

Tak berselang lama, akupun merasakan sesuatu yang akan melandaku. Dan ketika klimaks itu datang aku tak peduli lagi dengan gerakan Indri, “Aooooooooouh…. oohh……” lenguhku.

Dunia serasa berputar.

Sekujur tubuhku mengejang, sungguh hebat rasa kenikmatan klimaks yang melanda diriku itu sehingga buah pelirku menempel ketat pada lubang vagina Indri dan batang penisku terbenam seluruhnya di dalam liang vaginanya.

Aku merasakan denyutan-denyutan kenikmatan yang diakibatkan oleh semprotan air maniku ke dalam vagina Indri.

Crrooottt…. crrrooott… crroottt…. crrooottt…. crroootttt…. crrrooott… crroottt…. crrooottt…. crroootttt…. crrrooott… crroottt…. crrooottt…. crroootttt….

Aku langsung tertelungkup di atas tubuh Indri dengan seluruh tubuhku yang bergetar hebat dilanda kenikmatan ejakulasi yang super dahsyat itu.

Apa yang akan terjadi besok, urusannya besok. Aku menikmati tubuh Indri sekali lagi.

Pagi aku melihat Indri biasa-biasa saja bergabung di tengah keluarga besarnya.

Maka itu, aku ingin segera menyingkirkan suami Indri dengan mempengaruhi ibu mertuaku, karena ibu mertuaku juga tidak begitu suka dengan menantunya yang satu ini.

Jumat siang, aku bertemu dengan Susan, adik iparku yang akan menikah di tengah-tengah kesibukan para tetangga yang membantu memasak untuk hajatan besok.

“Kamu sudah siap…?” tanyaku pada Susan.

“Siap apa Bang, biasa-biasa saja kok…” jawabnya.

“Kamu nggak deg-degan menghadapi malam pertama?” tanyaku lagi.

“Sakit ya, Bang? Aku pernah tanya sama Kak Indri, katanya dulu ia sampai 2 hari susah kencing… besar ya, Bang…?”

“Memang kamu belum pernah lihat punya suamimu?”

Susan menggeleng.

“Bener…?”

“Sumpah…!” jawabnya.

Wah… ini makanan empuk, batinku.

“Mau lihat punya Abang?”

Susan mau menjawab, tapi ragu-ragu membuka mulut. Aku segera menarik Susan masuk ke kamar, lalu mengunci pintu.

“Benar, kamu belum pernah melihat penis suamimu?” tanyaku sungguh-sungguh dengan menyebut ‘penis’.

“Benar Bang, disambar geledek kalau aku pernah lihat, tapi jangan bilang-bilang sama Indri sama Noni ya, Bang…”

Aku memeluk Susan. Timbul rasa kasihanku, apalagi melihat Susan mendekap tubuhku dengan rasa yang begitu nyaman, dan memang tubuhku lebih tegap dari tubuh suaminya.

“Abang jadi nggak tega memperlihatkan sama kamu, San…” kataku.

“He.. he..” Susan tertawa.

Aku mengecup bibirnya yang tipis merona merah delima. Setelah itu aku baru bertanya padanya, “Kamu sudah pernah ciuman…?”

“Pernah sih…?” jawab Susan.

“Payudara kamu pernah dipegang?”

“Ngg..***k…”

“Pantesan kecil…” godaku

“Hikss…” Susan tertawa tertahan.

Aku tidak mau kehilangan kesempatan itu, tanganku menggenggam payudara Susan dari luar kaosnya. Susan membiarkan.

Pikirku tunggu saja hari Minggu setelah selesai hajatan, kalau malam pertama ia belum disetubuhi oleh suaminya, biar aku yang memberikan pada adik iparku ini malam pertamanya.

Aku dan Susan lalu pergi dari kamar.

*****


Istriku juga sibuk membantu memasak. Lehernya tampak basah berkeringat. Aku memeluk istriku dari belakang, lalu menjilat keringat di lehernya yang putih mulus dan jenjang.

“Pengen ya Pih… he.. he.. sebentar, ya…” kata istriku.

Setelah istriku mematikan kompor, ia menarik aku ke belakang dapur. Di belakang dapur yang sepi, kami melakukan ‘Quick Sex’.

Istriku menurunkan celananya, lalu menyodorkan pantatnya yang putih mulus itu padaku dengan posisi nungging sementara kedua tangannya bertumpu pada dinding dapur.

Kemudian aku mengeluarkan penisku yang tegang dari balik celanaku. Aku lumuri batang penisku seluruhnya dengan ludah.

Selanjutnya kepala penisku kudorong masuk ke lubang anus istriku (anal sex). Kami sudah beberapa kali melakukan anal sex. Jadi istriku tenang-tenang saja saat menerima penisku di lubang anusnya.

Dengan sedikit mengayun dan mendorong penisku, perlahan-lahan lubang anus istriku terkuak. Terus aku mulai memompa lubang anus istriku dengan gerakan maju-mundur keluar-masuk sambil kupegangi pinggangnya.

Nikmat terasa sewaktu penisku tergesek-gesek lubang anus istriku yang hangat, kesat dan ketat itu.

Napasku mulai terengah-engah. Lalu dengan satu hentakan yang menukik tajam masuk ke dalam, istriku menjerit, “Akkkhhhhhh….”

Aku membalasnya dengan lenguhan, “Ooooggghhh….”

Sheerrr…. sherrrr…. sherrr… crrrooottt… croottt… crooottt…. croott….

Aku segera mencabut penisku, lalu membenahi celanaku. Sementara istriku juga menaikkan celananya membiarkan air maniku tergenang di dalam anusnya, mungkin sebagian sudah keluar membasahi celana dalamnya, ia kembali ke depan kompor.

Gallery for Di Pernikahan Adik Iparku