Credit Marketing Oficcer
Cerita ini sebelumnya sudah perna saya pos, dan sekarang saya pos ulang dengan sedikit perubahan, semoga kalian terhibur dengan cerita saya.
Pagi ini, aku duduk di teras rumahku sambil menikmati segelas kopi dan di temani sebatang rokok sampoerna. Lalu tak lama kemudian, seorang wanita cantik keluar dari dalam rumahnya hanya mengenakan handuk putih yang melilit di tubuhnya. Kulihat ia membawa baskom kecil yang berisi pakaian yang baru saja ia cuci.
Aku tersenyum, dari tadi aku menunggu dirinya, akhirnya dia keluar juga.
Namanya Mutiara aku biasa memanggilnya Kak Muti, wajahnya secantik namanya. Jujur saja di kampung dia adalah primadona.
Sudah dari dulu aku sering mencuri pandang kearahnya, bahkan aku sangat hafal jam kegiatannya sehari-hari, entah ketika ia sedang menyapu halaman, ataupun ketika ia sedang menjemur pakaian seperti saat ini, dan yang paling kusuka adalah saat ia menjemur pakaian, karena biasanya dia menjemur pakaian di pagi hari, setelah mandi pagi, dan hanya mengenakan handuk yang nyaris tak mampu menutupi tubuh sintalnya. Maklum saja, handuk yang ia kenakan berukuran kecil.
Mataku menelusuri lekuk tubuhnya, betisnya yang putih bak padi bunting tampak kencang nan indah, dan pantatnya yang berisi begitu meggoda, apa lagi ketika ia sedang membungkuk untuk mengambil pakaian, aku dapat melihat jauh paha mulusnya, dan hanya perlu sedikit lagi bagiku agar bisa melihat selangkangannya.
Pemandangan yang ada di hadapanku mau tak mau membangunkan sang Junior.
Memang dari dulu aku sangat menyukainya, dalam artian bukan sayang atau cinta, hanya sekedar suka dan mengagumi kecantikannya. Walaupun dia seorang janda beranak satu, tapi usianya hanya terpaut dua tahun di atasku, bahkan dulu dia adalah teman sepermainanku.
Waktu kanak-kanak aku sering main kerumahnya, bermain bersama dengannya atau Adik perempuannya yang bernama Elvi, bahkan tak jarang ia mengajakku dan Adik perempuannya untuk mandi bersama.
Tapi itu dulu ketika kami masi anak-anak, semenjak aku masuk SMP kami tak lagi bermain bersama, kami seperti memiliki dunia yang berbeda, bahkan untuk hanya sekedar mengobrol saja kami tak perna melakukannya, paling hanya sekedar menyapa dan tersenyum.
Tapi dalam diam aku sangat mengaguminya, selain cantik ia adalah wanita yang tangguh.
“Kak, ini udah jam berapa, nanti kamu telat loh.”
“Bentar lagi Bun, habisin rokok dulu.” Kataku beralasan, padahal aku masih ingin menikmati tubuh Kak Mutia yang sedang menjemur pakaian.
Kemudian Bunda duduk di sampingku. “Liatin apa si?” Katanya menggodaku, ya Bunda memang sangat hafal kebiasaan burukku ini, tapi anehnya ia tak perna memprotes kebiasaan burukku ini.
“Gak ngeliatin apa-apa kok Bun.” Elakku, padahal sudah jelas aku sedang memperhatikan Kak Muti yang sedang menjemur pakaian.
“Mulus ya? Teteknya masih kencang! Beda sama Bunda yang sudah tua, gak semenarik dirinya.” Seperti biasanya, Bunda selalu memandingkan dirinya dengan orang lain, padahal menurutku Bunda masih sangat cantik walaupun usianya sudah memasuki kepala empat.
Bagiku, bentuk tubuh Bunda masih sangat menggoda, walaupun ada sedikit lemak di bagian perutnya, tapi tak mengurangi keindahan tubuhnya. Andai saja Bunda tau, aku ingin sekali menikmati tubuhnya, tapi tentu saja hal itu tak akan perna kulakukan.
Kualihkan pandanganku kearahnya, kutatap matanya dengan lembut. “Siapa bilang, Bunda itu masih sangat cantik kok, seksi lagi.” Kataku sedikit menggombalinya, kulihat wajahnya bersemu merah, Bunda memang paling suka kalau aku menggombalinya.
Kemudian Bunda beranjak. “Bohong!” Katanya pelan, lalu ia masuk kedalam rumah.
Aku mengejarnya hingga masuk kedalam kamarnya, Bunda masih berdiri membelakangiku, kemudian kupeluk ia dari belakang tanganku melingkar erat di pinggangnya yang ramping, dan selangkanganku menubruk pantat besarnya yang selalu membuatku tergila-gila padanya.
Bunda tak menolak pelukanku, bahkan ia seperti menikmatinya, karena aku sempat mendengar suara nafasnya yang berat.
Kudekatkan bibirku di lehernya. “Beneran Bunda, bagi Raka, Bunda wanita yang paling sempurna, sangat cantik dan seksi.” Rayuku, lalu kutekan penisku yang berdiri diantara lipatan pantatnya. Aku tidak tau, Bunda menyadari keberadaan penisku atau tidak.
Bunda melepas pelukannya, lalu memutar tubuhnya menghadap kearahku. “Iya Bunda percaya sayang, makasi ya sudah mau muji Bunda.” Kemudian dia mengecup pipiku.
Aku tersenyum dan segera keluar meninggalkannya, kulihat Kak Muti baru saja menyelesaikan jemurannya, dan akupun bersiap berangkat bekerja dengan mengendarai motor tua honda Supra X tahun 2004 yang kubeli dari hasil keringatku sendiri.
SATU
Namaku Raka Faiz Hendraya, usiaku saat ini 22 tahun, dan aku anak pertama dari dua bersaudara, Adik Tiriku bernama Cindy, masih duduk di bangku SMP kelas 2.
Sepuluh tahun yang lalu, Ibu kandungku meninggal dunia, dan satu tahun kemudian Ayah menikah lagi dengan seorang perumpuan bernama Melinda, yang kini kupanggil Bunda. Tapi setahun yang lalu, giliran Ayah yang di panggil sang maha kuasa.
Sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluargaku, sudah menjadi tugasku, menggantikan posisi Ayah, menafkahi keluargaku dan menyekolahkan Adikku, hingga kejenjang yang tinggi, aku berharap Adikku tidak seperti diriku yang terpaksa berhenti kuliah karena harus bekerja, menggantikan peran Ayahku. Tapi walaupun begitu aku tak perna mengeluh, bahkan aku bangga karena bisa membantu keungan keluargaku.
Saat ini aku bekerja di salah satu perusahaan jasa peminjaman uang di kota Palembang sebagai CMO atau Marketing. Pekerjaanku sehari-hari mencari pelanggan yang membutuhkan dana tunai, hanya dengan menggadaikan BPKB motor ataupun mobil.
Di kota biasanya aku tinggal di rumah nenekku, dan setiap sabtu sore aku pulang kerumah, senin paginya aku baru kekota lagi, seperti yang kulakukan hari ini.
Hari senin adalah hari yang paling membosankan, bagaimana tidak, aku harus menempuh jarak sejauh 42KM untuk mencapai pusat kota palembang, belum lagi jalanan yang berlubang dan macet yang berkepanjangan, dan bukan sebuah pemandangan yang aneh melihat kendaraan yang mengalami kecelakaan. Sungguh perjalanan yang sangat melelahkan, jadi tak heran kalau hari senin adalah hari yang paling kubenci.
Aku tiba di kantor tepat jam delapan pagi, sungguh beruntung hari ini aku tidak sampai terlambat, kalau tidak aku terpaksa membayar denda 10 ribu. Seperti yang sudah kami sepakati bersama.
Selesai brefing pagi, aku bersama rekan-rekanku sesama sales mulai mencari mangsa, dan kali ini aku di tandemkan dengan seorang perempuan bernama Janna. Dia adalah karyawan baru di kantorku.
Seperti biasanya, kami berkeliling menyebarkan brosur, dari rumah kerumah, gang ke gang hingga kepasar tradisional.
Kuparkirkan sepeda motorku di pasar, kuajak Janna untuk berkeliling menyebarkan brosur dan menawarkan pinjaman kepedagang maupun kepengunjung pasar yang sedang berbelanja. Sebagian dari mereka acuh tak acuh, bahkan ada yang langsung membuang brosur pemberian kami, tapi ada juga yang merespon tawaran kami dengan sangat baik.
Kudekati seorang pedagang sayuran yang sedang menunggu pembeli. “Maaf Bu mengganggu sebentar, kami dari perusahaan lesing, mau menawarkan pinjaman modal untuk Ibu, siapa tau Ibu berminat.” Kuserahkan selembar brosur kepadanya, ia menerima dan melihatnya.
“Bunganya besar gak Mas?”
“Oooo gak kok Bu, bunganya kecil kok, di jamin gak akan nguras kantong Ibu.” Bujukku sembari tersenyum semanis mungkin.
“Beneran ni…”
“Iya Bu, kalau gak percaya Ibu bisa lihat sendiri angsuran yang ada di brosur.”
“Ada potongannya gak Mas, soalnya kemarin saya perna gadain motor anak saya, tapi ada potongannya sampe 300 ribu.” Keluhan seperti ini sudah biasa kudengar dari pelanggan.
Memang biasanya setiap kali pinjaman ada potongan Admin, bisa di bilang itu pajak pinjaman. Sebagian perusahaan pegadaian biasanya menarik pajak dengan memotong uang pinjaman, tapi tidak dengan perusahaan tempatku bekerja, kami mengambil pajak pinjaman melalui angsuran yang di bayar pelanggan setiap bulannya.
“Kalau di kita gak ada pemotongan Bu, uang pinjaman yang kita kasikan ke Ibu utuh tanpa ada potongan.” Jelasku kepada dirinya.
“Kira-kira kalau motor jupiter mx berapa ya Mas?”
“Jupiter mxnya tahun berapa Bu?” Tanyaku senang, setidaknya ini awal yang baik.
“Tahun 2011 kalau gak salah Mas.”
“Bisa Bu, emang Ibu mau minjam berapa?”
“Kalau 9 juta bisa gak Mas?”
“Kalau 9 juta belum bisa Bu, paling cuman 7 juta Bu, kalau motornya masi bagus, mentok-mentoknya 7,5 juta Bu. Saya boleh lihat motornya dulu gak Bu.” Jelasku kepadanya sedikit berharap ia tidak keberatan dengan jumblah uang yang kutawarkan kepadanya.
“Motornya lagi di pake ke sekolah sama anak saya.” Jawabnya.
“Gimana kalau nanti kami kerumah Ibu.”
“Gimana ya Mas, saya harus izin dulu sama Suami, di bolehin gak minjam duitnya, kalau di izinin nanti saya baru pinjam sama Mas.”
“Oooo gitu, atau gak gini aja Bu, saya minta nomor hpnya Ibu, nanti sore atau nanti malam saya hubungi Ibu lagi, gimana?” Tawarku.
“Nanti aja deh mas, di brosur inikan sudah ada nomornya Mas, nanti biar saya aja yang menghubungi Mas.” Jelas ini sebuah penolakan secara halus darinya.
Ya beginilah nasib seorang sales, harus sangat super sabar menghadapi calon pelanggan. Ada saja cara mereka untuk menolak kita, baik itu dengan cara kasar maupun halus, dan yang lebih menjengkelkan lagi kalau kita sudah capek-capek menjelaskan, gak taunya dia hanya ingin sekedar bertanya, atau ingin membandingkan perusahan ini dengan perusahaan itu.
Tak terasa matahari kini sudah berada di atas kepala kami, itu artinya tanda kalau kami harus beristirahat sejenak, mengisi perut kami yang mulai kosong.
Aku mengajak Janna ke warteg yang ada di pasar, kami memesan semangkok bakso. Tak lama kemudian pelayan menghampiri kami sambil membawakan pesanan kami. Karena tadi pagi aku belom sempat sarapan, aku segera melahap bakso pesanan kami.
“Kak Raka udah lama kerja di sini?” Tanya Janna menggangu makan siangku.
“Lumayan, hampir satu tahun.”
“Capek gak si Kak, kalau kerja kayak gini, setiap hari harus mondar mandir cari pelanggan, belum lagi panasnya yang gak nahan.” Janna merucutkan bibirnya. Sementara aku tersenyum mendengar pertanyaan Jana.
Yang namanya kerja pasti gak ada enaknya, sebagai sales memang sudah menjadi pekerjaan kami berkeliaran di jalan dengan mengendarai sepeda motor, dan terkadang menggunakan mobil perusahaan, tentu saja capek, panas, dan tak jarang di bikin kesel oleh calon pelanggan, itu sudah menjadi makanan kami sehari-hari sebagai sales. Belum lagi tuntutan perusahaan yang terkadang sama sekali tak menghargai kerja keras kita, yang mereka mau hanyalah hasil.
Tapi saya percaya, hasil tak perna mengkhinati sebuah proses yang kita lalui. Berkeluh kesah itu wajar, asal jangan perna menyerah dan terus berusaha.
“Ya pasti capeklah, tapi jangan terlalu di pikirin juga, di nikmatin aja.” Kembali aku memasukkan pentol bakso kedalam mulutku. “Tapi ada enaknya juga kok.” Lanjutku setelah menelan makananku.
“Enaknya apa Kak?”
“Jadi sales itu bebas gak ada yang ngawasin, yang penting hasilnya. Kalau kamu lagi males kerja, kamu tinggal pulang kerumah terus istirahat, sorenya balik kekantor tinggal absen.” Jelasku, sembari memasang senyuman terbaikku.
Setelah kuperhatikan ternyata Jannah ini anaknya manis, apa lagi ketika ia sedang tersenyum.
Matanya rada sipit, seperti keturunan chinese bibirnya memang sedikit tebal tapi menggemaskan, sementara payudarahnya sendiri sepertinya tak begitu besar. Dan yang paling mengejutkan, ternyata Janna memiliki bulu-bulu halus di punggung tangannya, setauku wanita berbulu memiliki nafsu yang lebi besar.
“Berarti Kakak sering pulang ya?”
“Banget… biasanya jam segini aku pulang, atau main ketempat temen, tapi karena ada kamu, mau gak mau hari ini aku full keliling.” Jelasku, sambil melahap pentol terakhirku.
Jannah tertawa renyah. “Kok karena ada aku Kak, Hihihi… Jadi merasa bersalah.”
“Kan sudah jadi tugasku ngajarin dan nemenin kamu.”
“Hmmm… gitu, gimana kalau habis ini main kekossanku aja Kak, soalnya hari ini aku lagi males keliling Kak.”
“Yakin? Tapi nanti kamu gak akan aduhin aku ke Pak Togarkan?” Sebenarnya rada takut juga ngajak anak baru sedikit nakal, takutnya dia malah ngadu ke atasan, bisa-bisa aku langsung di pecat.
Dia kembali tertawa. “Ya gaklah Kak.!!” Katanya meyakinkanku.
“Emangnya kamu males kenapa?”
“Biasa Kak, lagi berantem sama cowokku, aku bingung kenapa ya cowok itu mudah banget marah” Katanya, sambil menekuk wajahnya.
Aku mengangkat alisku. “Siapa bilang, itu tergantung cowoknya.” Jelasku. Tentu saja aku tidak terima kalau di samakan dengan orang lain, tidak semua cowok itu kasar, tidak sedikit cowok yang memperlakukan pasangannya dengan baik.
“Hihihi… Kakak lucu!”
Aku ikut tertawa. “Dari dulu, hehehe… tapi bener loh, banyak kok cowok yang baik, tulus sayang sama pasangannya.” Lanjutku.
“Iya si Kak, tapi cowokku gak gitu.”
“Tinggalin aja, tiinggal cari cowok lain, gitu aja kok repot.” Jawabku santai.
“Gak bisa gitu juga Kak, aku gak bisa lepas gitu aja dari dia Kak, bukan karena sayang, tapi karena hal lain.” Ujarnya sambil memperlihatkan wajah sedihnya. Aku menangkap sesuatu yang ia sembunyikan.
“Ya udah gak usah di pikirin. Kalau begitu kita jalan sekarang aja yuk?” Kataku mengalihkan pembicaraannya, dan mengajaknya untuk segera meninggalkan kedai bakso.
“Yuk.” Jawabnya.
Kupacu sepeda motor bututku melewati mall palembang square, lalu memutar balik dan berbelok kekiri memasuki jalan dwikora II, tak lama Janna memintaku berhenti di depan sebuah bangunan yang terdiri dari beberapa kamar, yang kuyakini adalah tempat ia mengekos saat ini.
Kulihat seseorang pria berdiri di depan salah satu kamar, dia memandangiku dengan tatapan melotot.
“Kamu tunggu sebentar ya.” Ujar Janna.
Kulihat dari jauh Janna menghampiri pria tersebut, sepertinya cowok itu adalah pacarnya Janna, mereka sempat terlibat cekcok mulut, aku tak begitu mendengarkannya karena itu bukan urusanku, tapi kemudian cowok itu menampar wajah Janna.
Tentu saja aku kaget, bagiku pria yang memukul wanita itu adalah tindakan yang pengecut, tapi aku juga tak mau ikut campur, jadi kuputuskan tetap diam sambil memperhatikan mereka berdua yang sedang perang mulut, kalau memang kondisinya mendesak, baru aku akan membantu dirinya.
Setelah puas memarahi Janna, si cowok itu tiba-tiba berjalan cepat menghampiriku dengan tatapan bengis, seolah ingin menerkamku. Karena khawatir dia juga akan menyerangku, aku segera turun dari atas motorku, tak lama kemudian dia sudah berada di depanku.
Janna segera menghampiri kami, tapi segera kuberi tanda agar ia tak mendekati kami.
“Anjiing siapa kamu?” Katanya dengan penuh emosi, sebentar lagi kupikir ia pasti menyerangku.
“Sabar Bang, Saya teman kerjanya.”
“Gak usah bohong! Ku hajar nanti kau.” Dia mencengkram kerah bajuku.
Aku mundur kebelakang sembari menahan pergelangan tangannya yang sedang menarik kerah bajuku. “Tolong lepaskan!” Kataku yang mulai terbakar emosi.
“Emang kamu pikir aku takut hah…” Dia membentakku dengan mata melotot, sepertinya kesabaranku mulai habis menghadapinya.
Segera kuambil tangannya yang mencengkram kera bajuku, lalu kupelintir kebelakang, kuntendang lutut bagian belakangnya hingga ia berlutut, tidak sampai di situ, kukepalkan tanganku, dan seperkian detik tinjuku mendarat telak mengenai wajahnya, hingga bibirnya pecah.
Satu hal yang paling kebenci dari diriku, kalau sudah emosi aku suka lupa diri.
Kudorong tubuhnya hingga ia terjerembab. Dia segera bangun, kupikir ia akan minta maaf, tapi ia malah kembali menyerangku, aku yang tidak siap terpaksa menerima pukulannya di pipiku, aku terdorong kesamping. Tapi aku cepat menangkis serangan keduanya, kemudian kulayangkan lututku kearah perutnya.
Tidak puas, aku memukulkan sikuku di punggungnya saat ia membungkuk. Dan kemudian kujatuhkan ia ketanah dan aku menindihnya, kembali kukepal tinjuku, dan kupukulkan kewajahnya. Tidak hanya satu tinjuku yang masuk kewajahnya, tapi beberapa kali tinjuku melayang menghantam telak wajahnya, hingga kulihat ada darah di bibirnya, buru-buru aku melepaskan cengkramanku.
“Sudah cukup Kak, lepaskan Kak.” Janna berusaha melerai perkelahian kami.
“Aauuuww…” Dia meringis kesakitan. “Awas ya kamu, kubalas nanti.” Dia menunjukku sambil berusaha berdiri. Aku ingin membantunya berdiri, tapi ia menepis tanganku yang terjulur kearahnya.
Akhirnya aku bisa bernafas lega setelah ia pergi meninggalkan kami. Janna segera menghampiriku, dia menatapku dengan tatapan bersalah.
“Aku gak apa-apa kok.”
“Maaf ya Kak!”
“Udah santai aja, tapi aku balik dulu ya nanti sore aku jemput kamu.” Kataku, lalu aku berpamitan pergi meninggalkannya.