Akibat Pistol Gombyok
Santi mengungkapkan pengalaman uniknya sebagai mahasiswi di sebuah PTS di Jawa Tengah. Namun dengan alasan tidak ada biaya ia terpaksa terjun ke dunia pelacuran untuk membiayai kuliahnya sendiri. Apa lagi sudah tidak ada lagi yang perlu dipertahankan lagi pada dirinya. Demi cita-citanya menjadi sarjana, penutur rela menjalani profesi yang selama ini dianggap sebagai sampah masyarakat.
Untuk itu aku mencoba menempatkan diriku dalam perspektif penutur untuk lebih dapat menghayati apa sebenarnya yang dirasakan dan diinginkannya. Jadi dalam penulisan cerita ini aku menggunakan sudut pandang “first person point-of-view” dari sisi si pelaku yang mengalami pengalaman ini. Beginilah pengalaman yang dialami si pelaku selengkapnya.
[Menjadi Yatim Piatu]
Sebut saja namaku Santi (Samaran). Saat ini usiaku 18 tahun dan secara terpaksa aku terjerumus ke dalam kehidupan dunia hitam menjadi pelacur! Ya aku adalah seorang pelacur! Suatu profesi yang dinista oleh sebagian orang tetapi sekaligus dibutuhkan para lelaki hidung belang. Bahkan pelacur itu pada umumnya dianggap bandit sehingga selalu dikejar-kejar trantib dan kalau pas lagi sial belum dapat duit malah kena razia.
Padahal pelacur seperti diriku ini adalah orang seperti warga negara lainnya, yang punya hak dan kewajiban sipil-privacy yang sama. Ini harus dihormati! Sebab order sosial/kolektif berdasar order individu, dan bukan sebaliknya.
Aku terpaksa menjadi pelacur untuk membiayai kuliahku karena tidak ada orang lain di keluargaku yang dapat membantuku. Ini kulakukan demi masa depanku. Aku terpaksa menjual diri demi sebuah cita-cita. Kukumpulkan rupiah demi rupiah untuk kebutuhan hidup dan sebagian kutabung untuk modal usaha kelak setelah aku lulus kuliah.
Sebagai pelacur, saya bekerja cuma mencari nafkah. Menjual jasa. Apakah aku disebut pendosa. Sedangkan para pembeli dan pengguna jasa yang kulakukan, tidak pernah disebut pendosa apalagi dihukum. Bahkan karena laki-lakilah para perempuan seperti aku menjadi pelacur.
Perempuan yang bekerja dalam profesi ini dianggap sebagai perempuan nakal, tercela, tak bermoral, melanggar nilai-nilai agama dan norma masyarakat. Oleh sebagian masyarakat dan juga pemerintah, pelacuran dianggap sebagai tindak kejahatan. Para pelakunya dipandang sebagai kriminal. Tetapi pada saat yang sama, keberadaan mereka sangat dibutuhkan.
Bahkan tidak sedikit pihak yang diuntungkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya saja pihak pemerintah yang menarik pajak dari mereka; aparat yang menyediakan jasa keamanan; warung makanan atau toko yang hidup karena adanya pelacuran; dan juga terbukanya peluang usaha dan kerja bagi penduduk setempat.
Masyarakat itu ibarat koin mata uang. Di satu sisi ada kelompok masyarakat yang “mencintai” pelacur yang dianggap sebagai kubu sisi luar. Sedangkan sisi dalam adalah kubu pietisme “karatan” yang tak mampu bersikap realistik. Kubu ini, menurut laporan, adalah biang dehumanisasi pelacur dan pelacuran.
“Berkat” dialah maka penistaan yang dungu-primitif menjadi “harga niscaya” yang harus dibayar pelacur. Mereka tidak mampu melihat realitas yang sesungguhnya apa yang menyebabkan orang-orang seperti saya menjadi pelacur.
Waktu kecilku aku sangat bahagia. Tidak terbayang dalam pikiranku kalau aku kelak akan terjerumus menjadi seorang pelacur. Aku tumbuh dalam limpahan kasih sayang kedua orang tuaku! Bagaimana tidak? Aku adalah anak tunggal kedua orangtuaku. Walaupun kami bukan dari keluarga kaya, tetapi kasih sayang yang dilimpahkan kedua orang tuaku merupakan harta yang paling indah dalam hidupku.
Aku masih ingat betapa ayahku yang hanya pegawai swasta rendahan dan ibuku yang buruh pabrik di salah satu kawasan industri di Surabaya selalu membelikanku boneka-boneka kesukaanku setiap habis bulan. Aku ingat masih ingat betapa sebulan sekali aku selalu dibawa jalan-jalan ke tempat wisata yang ada di sekitar kotaku. Namun segala yang ada di dunia tidak abadi. Kebahagiaan yang aku rasakan harus terenggut dari diriku.
Saat itu usiaku masih 12 tahun. Waktu itu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar di kelas VI. Aku masih ingat saat tiba-tiba aku dijemput oleh Budheku di sekolah dan diajak ke rumah sakit. Ya Budhe Harti (samaran) adalah satu-satunya saudara ibuku dan ia juga tinggal sekota denganku. Sedangkan kakek dan nenek dari ibu dan bapakku sudah meninggal saat aku masih bayi. Jadi satu-satunya saudara yang terdekat adalah keluarga Budhe Harti yang hingga saat itu belum dikaruniai anak padahal Budhe dan Pakdhe sudah hampir 15 tahun menikah. Aku baru tahu kalau Budheku katanya mandul beberapa tahun kemudian.
Aku masih asyik belajar di sekolah saat Budhe minta ijin guruku dan menjemputku untuk dibawa ke rumah sakit. Mulanya aku tidak tahu untuk apa aku harus ke rumah sakit. Baru setelah di rumah sakit aku diberitahu kalau ayah dan ibuku meninggal karena sepeda motornya tertabrak truk. Setiap pagi ayah selalu mengantar ibuku ke pabrik tempatnya sebelum berangkat ke kantornya.
Rupanya sepeda motor ayah tertabrak truk saat mereka berboncengan ke pabrik ibuku. Hatiku sangat sedih karena harus ditinggalkan orang-orang yang aku cintai. Aku terlalu kecil untuk ditinggal kedua orang tuaku. Akhirnya Budhe Harti yang belum punya anak mengajakku tinggal bersamanya. Sejak saat itulah aku mendapatkan orangtua baru, yaitu Budhe Harti dan Pakdhe Mitro (samaran).