MALAPETAKA: Malah Pengen Tambah, ‘Kan?​

Dunia sudah tua. Sudah saatnya paradigma kembali ditata. Berkata “Saya khilaf. Setan yang membujuk saya!” itu sekarang basi jatuhnya. Kenapa? Karena manusia lebih dari mampu menghancurkan diri mereka sendiri. Kami malah banyak jadi penontonnya akhir-akhir ini.​
Tertanda, S. Etan​

*** a fatal dickcision​
Egi mondar-mandir di ruang tamu mungil itu. Sengaja dia hindari tatapan sesosok wanita dalam balutan hijab dan gamis lebar yang tengah duduk pada kursi yang letaknya paling jauh dari pintu. Tatapan yang biasanya teduh itu kini sedang mengulitinya. Sesekali Egi akan mendongak, mengintip dari celah pintu. Derum motor yang dia nanti-nanti belum juga menyambangi ruang dengarnya. Biji-biji keringat kian memberati dahi, tengkuk, leher, serta ketiaknya. Padahal, dia baru mandi menjelang petang lalu. Lembap udara musim pancaroba tak membantunya meraih tenang. Membantunya menjernihkan pikiran. Sedari awal, dia menentang gagasan yang sekarang tengah dijalankan. Dia yakin masih ada cara lain. Cara yang lebih dia bisa terima. Namun, apa mau dikata. Egi kalah adu argumen. Karakternya yang meledak-ledak tetapi gampang menciut sama sekali tak membantunya. Dua tahun sebelumnya, Egi akan sulit membayangkan dia berada di posisinya saat ini. Kala itu, dia masih punya pekerjaan tetap. Masih digaji tiap bulan. Masih kadang dapat upah lemburan. Hari ini? Boro-boro. Teknologi yang tadinya dia yakini adalah pintu rezeki, kini merampas hidup dan hampir segala yang dia punya. Ilustrator yang bulan depan menyentuh kepala tiga itu tak habis pikir. Bisa-bisanya dia digantikan kecerdasan buatan alias AI. Kok, ya, ada klien yang mau beli hasil karya dari mesin durjana? Gila. Dunia sudah gila. Dan dia bersama 95% kawan seprofesinya dipaksa ikut gila juga karenanya. Sebelum hengkang menjual rumahnya di kota untuk lalu pindah ke desa, dia sempat mencoba menjadi ilustrator lepas, yang ternyata lebih sulit dari yang dia kira. Budaya kerja kantoran sudah kadung melekat. Menggantungkan hidup dari freelance, dia putuskan, bukanlah pilihan yang tepat. Ditambah lagi, dia juga depresi dengan kehidupan seksualnya. (More about this later) “Bi?” panggil si akhwat yang ikut gerah menyaksikan laki-laki yang enam tahun belakangan menjadi suaminya. Kantung gelap di bawah kelopak mata lelahnya membuatnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Kecantikan yang dia bawa dari hari-harinya tinggal di kota memudar di luar kuasanya. Menjadi petani, dulunya, dia kira adalah pekerjaan mulia. Bisa bikin orang awet muda. Lepas dari stres ibukota. Bahagia. Sentosa. Pret. Kutukuda! Mau-mau saja dia dibohongi mertuanya—yang seumur-umur lebih banyak main gaple daripada kerja keras sebagaimana semua manusia seharusnya. Bertani itu yang ada malah pusing tujuh keliling. Biaya produksi dan profit sering jauh jomplang. Buruh dan pupuk berlomba-lomba menjadi yang paling langka. Belum lagi dunia yang kian tua ternyata adalah rumah bagi mutasi hama yang bikin garuk-garuk kepala. Jika padi dan palawijanya secara ajaib selamat sampai dipetik, tengkulak masih akan memangsanya. Konon, ini semua salah pemerintah yang tak becus urus negara. Egi termasuk mereka yang percaya. Gemar betul lelaki itu menyalahkan dunia. Semuanya salah. Kecuali dirinya. Narsis. Egois. Kayak dunia berputar buat dia aja. “Duduk dulu, Bi. Capek aku nonton Abi mondar-mandir terus.” “Tapi, Sit,” bantah Egi yang jarang menyebut nama asli istrinya, “ini salah. Keliru. Syirik! Sesat!” Sita pendam keinginannya untuk tertawa. Sesat? Ide siapa itu cari-cari pertolongan ke ustadz-ustadz dan kiai? Ide Egi. Hanya karena salah satu dari mereka lebih nyentrik dari yang lain, tiba-tiba saja suaminya itu berubah pikiran. Mana telat lagi. Meski jengkel, Sita berusaha menyembunyikannya. Tidak elok suami dan istri bertengkar. Perceraian, lagipula, dibenci tuhan. Sita menghela napas, lalu mengembuskannya pelan. Dia tahu stress tidak akan banyak membantu keadaan. Hanya saja, susah baginya untuk tak berpikiran ke sana. Hari-hari yang dia jalani bersama Egi menguras tenaganya. Belum lupa dia akan tawaran keluarga besarnya di Surabaya. Meski sempat bersitegang gara-gara dulu dia hijrah, mereka kini bersedia menerimanya kembali. Asal… dia tinggalkan Egi. Bohong jika wanita berlesung pipit itu tidak pernah memikirkan opsi itu. Terlebih, belakangan ini, dia rasakan Egi semakin berjarak dengannya. Tidak seperti ketika mereka masih Mereka memang masih tidur seranjang. Tetapi— “Harusnya kita nggak cari bantuan ke… makhluq. Tapi ke Khaliq,” ujar Egi yang baru mulai sembahyang saat ikut rohis kampus. “Ujian ini dari tuhan, Mi. Kita hanya harus kuat menjalan—“ “Iya, dari tuhan, Abi.” Akhwat pemilik nama lengkap Mar’atus Salihatul Masyitah itu terdengar ketus. Taring gingsulnya yang jarang dia tunjukkan kali ini nampak saat dia bicara. “Tapi, ya, harus ada yang namanya usaha. Abi nggak bisa tidur mikirin tumpukan utang. Mikirin kenapa kita sial terus. Ini kita minta bantu orang pintar juga biar kita bisa merem. Biar masih bisa sewa sawah lagi tahun depan. Biar nggak kejual ini rumah. Biar survive. Abi sendiri juga yang awalnya—” Muka Egi yang merah padam mendongak. Dia punggungi Sita yang tak menyelesaikan kalimatnya. Dari jalan setapak yang tersambung ke jalan utama desa dia dapati sesosok pria berkepala botak dan bermata cekung yang adalah ayahnya berkendara mendekat. Di belakangnya, sebuah minivan hitam mengikuti. Plat putih kendaraan roda empat itu luar daerah. Memandanginya, Egi terlempar kembali pada pertemuan pertamanya dengan Pak Pak Reksha di kediaman yang bersangkutan di B*J*negoro. Pria itu adalah orang kedelapan yang dia mintai pertolongan. Kepadanya Egi utarakan segala keluh kesahnya. Mulai dari tikus, burung, dan belalang yang silih berganti menyikat sawah; ayam-ayam petelur ayahnya yang mati mendadak tanpa menunjukkan gejala-gejala sakit apa-apa; dia yang celaka didorong tangan tak kasat mata saat motoran sendirian di jalan provinsi dan; hingga gemuruh tapak kaki raksasa yang seakan hendak meruntuhkan atap rumahnya setiap malam menua. “Mas Egi tenang saja,” ucap Pak Pak Reksha waktu itu. Orangnya gembul serupa bola. Merokoknya pipa. Giginya sedikit lebih maju dari kebanyakan. Sembari memilin-milin jenggot kambingnya dia yakinkan Egi dan Sita agar tidak cemas. Agar mereka segera pulang dan menaburkan tanah merah yang dia berikan pada batas-batas tanah mereka. Niscaya, dengan demikian, gangguan-gangguan yang mereka alami akan sirna. Jika ternyata belum manjur, dia sendiri yang akan datang dan membereskan semuanya. Dan benar saja, dia tepati omongannya usai ajiannya terbukti seberguna kata-kata ‘semuanya akan baik-baik saja’ yang diucapkan setengah hati. Setelah dipandu Pak Pak Basuki—ayah Egi—sejak dari terminal lama dia tiba juga di rumah yang paling ujung dan cukup jauh dari rumah-rumah tetangga itu. Hal pertama yang Pak Pak Reksha lakukan ketika dia menginjak tanah pekarangan adalah meludah ke kiri. Dia lalu menengadah pada jejak-jejak senja di barat. Dalam waktu dekat semburatnya akan digilas petang yang membawa mendung. Ragu hujan akan turun, Pak Reksha mengalamatkan pandangannya pada pasangan suami-istri yang jika berdiri bersisian sama tinggi itu dan berkata, “Ini parah, Mas, Mbak.” Pucat seketika wajah-wajah Egi dan Sita yang menyambut dari teras. Kalau Pak Reksha saja tampak cemas, mereka berdua bisa apa? “Kerasa, kan, Sir?” tanya Pak Pak Reksha pada sopir sekaligus asistennya yang menyusul turun dari kabin. Di satu tangan, Basir menenteng ayam jago serbalegam dalam kiso rotan dan satu keranjang bunga tabur di tangan yang lain. Sebuah ransel di pundak melengkapi penampilannya yang berpakaian serba hitam sebagaimana bosnya. “Begitu turun, langsung kecium. Mak deg! Bajingan tenan.” Basir yang berambut ikal gondrong mengangguk tapi tak mengatakan apa-apa. Perawakannya yang tinggi besar menjulang membuatnya seperti sedang salah tempat di antara mereka yang puncak kepalanya hanya sebatas ketiaknya. Petang itu bukan kali pertama Egi dan Sita berjumpa Basir. Meski demikian, mereka masih merasa kurang nyaman berada di dekatnya. Egi karena dia merasa kerdil di dekatnya. Sementara, Sita karena trauma pernah hampir dilecehkan atasannya yang bule di kantor tempat dia terakhir bekerja sebelum ikut suaminya ke desa. Dasar lelaki. Padahal Sita selalu berpakaian sopan. Bukan salahnya jika tonjolan payudaranya kadang masih tampak dari luar gamis serta jilbab yang dia kenakan. Pantatnya yang cenderung bulat dan sekal juga tidak pernah bisa dia sembunyikan 100%. Cara Basir yang sekarang memandanginya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki mengingatkan Sita pada atasannya itu. Semoga mereka dua orang yang berbeda. Semoga dia salah. “Tapi masih bisa, kan, Pak?” Pak Basuki mewakilkan Egi bertanya. “Semoga, ya,” kata Pak Reksha yang kemudian—sesudah dipersilakan—mengekor tuan rumah meninggalkan pekarangan. Berjalan paling depan, Egi memandu rombongan mengisi ruang tamu. Di sana, mereka berembug. Diskusi yang diselingi sembahyang bersama berikut juga persiapan hal-hal mendasar ruwat itu berlangsung lebih lama dari yang dia suka. Bahkan ketika panggilan sembahyang terakhir untuk malam itu mengudara, Pak Pak Reksha masih saja bersilat lidah menerangkan tetek bengek ritual ruwat yang baginya mustahil terdengar lebih ruwet lagi. Di akhir penuturan, dia gagal membendung gelembung kesal yang jika dia tahan akan meletus bersama sisa kewarasannya. “Jadi, kita harus tunggu sampai setan-setannya datang, baru… ehm, baru… kita mulai upacaranya?” Pak Pak Reksha mengangguk. “Lah tapi, kok, siap-siapnya—” “Harus kita serang mereka saat mereka lena,” kata Pak Basuki. “Kalau nggak gitu, nanti percuma,” kata Sita menimpali. Egi membenahi letak kacamatanya sambil bergantian memandangi ayah dan istrinya. Sejak kapan dua orang itu jadi juru bicara Pak Pak Reksha? Mengalihkan pandangan dari mereka, dia pandangi Basir yang sedari tadi mengamati Sita seakan wanita yang darinya dia belum dikaruniai keturunan itu sedang tak berbusana. Menggelengkan kepalanya, laki-laki yang di sela kesibukannya di sawah dan di kandang mencari tambahan mata pencaharian sebagai ojek daring di kabupaten kecil dengan penghasilan yang sebenarnya mengenaskan itu beranjak dari kursi seraya berkata, “Ya, sudah. Aku tidur dulu. Mumpung ada waktu. Besok masih narik. Nggak apa-apa, kan?” Pertanyaan itu terutama dia tujukan pada Sita yang sering tidak tahu diri mengajaknya berhubungan badan bahkan saat dia tengah kelelahan. Pernah dia karena terpaksa meladeni hasrat sang akhwat. Hasilnya, dia kesiangan. Padahal, hama wereng sedang gagak-galaknya menguras bulir padi. Jika malam ini skenario serupa itu bisa dia hindari: dia akan berterima kasih karenanya. “Iya, Bi.” Seulas senyum tipis Sita sunggingkan. Sebagai satu-satunya wanita di rumah, akan kurang elok rasanya kalau dia gagal menunaikan tugasnya memuliakan tamu. Memberi suguhan makanan, minum, dan teman berbincang baginya adalah amanah yang harus ditunaikan hingga paripurna. “Abi istirahat aja dulu.” Sebelum benar-benar berlalu, Egi kembali bertanya, “Umi mau lanjut jahit lagi habis ini?” Pupil mata Sita membeliak melebar. Sementara suaminya memilih sampingan ojek, sebagai tambah-tambah uang dapur dia kembali menekuni kegemaran yang dia campakkan saat dia berkuliah di jurusan komunikasi lalu bekerja di kantor agensi periklanan, yaitu: menjahit. Pelanggannya hanya beberapa. Tetangga-tetangga. Namun begitu, dia menikmatinya. “Ah, iya.” Sita pun ikut bangkit. “Dua hari lagi diambil!” “Sudah,” kata Pak Basuki saat anak dan menantunya memandangnya seakan meminta kesediannya menemani para tamu sampai nanti ruwat dimulai. Pria lewat setengah abad yang mengaku sudah sembuh berjudi dan bertekad hidup bersih tersebut menyulut rokok kedua puluhnya hari itu lalu berkata, “Serahkan ke Bapakmu. Kalau cuma ngobrol, sampai pagi juga Bapakmu kuat! Hahaha!” Dan benar saja, Pak Basuki membuktikan omongannya. Lelaki berperawakan rata-rata itu jabani si paranormal yang hanya setahun lebih tua darinya itu membicarakan segala macam hal. Ditemani gelas-gelas kopi dan kepulan asap rokok mereka menjelma teman dekat meski baru pertama berjumpa. Dari obrolan itu dia peroleh informasi mengenai kehidupan Pak Reksha yang penuh lika-liku. Sebelum menjadi tokoh agama lokal sekaligus ahli spiritual pemilik rumah pendopo luas serta beristri tiga yang memberinya sembilan anak, dia hanya seorang gembala. Orang miskin desa. Bukan siapa-siapa. “Kerja keras itu perlu, Pak Pak Basuki,” kata Pak Pak Reksha. “Tapi bukan segalanya. Harus cerdas juga. Kalau nggak pinter lihat-lihat peluang, ya, paling saya masih angon wedhus dan bebek!” “Hahahaha, iya. Saya tahu. Tapi, ya, begitulah, Pak. Musuh saya cuma satu: malas!” “Malas?” Pak Basuki mengangguk. “Tapi, sekarang sudah ndak, to? Ada ayam sama telur yang harus Bapak urus, kan?” “Yah,” kata Pak Basuki sambil sesekali mengusap layar gawainya yang diam-diam dia pakai mencari tambahan dengan bermain slot, “untungnya begitu.” ~bersambung​